Penerbitan SP3 KPK Perkara BLBI-BDNI, Suatu Keniscayaan

Penerbitan SP3 KPK Perkara BLBI-BDNI, Suatu Keniscayaan

(Bagian 2)

Oleh Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H.

PERTIMBANGAN hukum Majelis Hakim MA di tingkat kasasi yang menyatakan bahwa perkara tindak pidana korupsi (tipikor) yang menjerat Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) – dalam kaitannya dengan Sjamsul Nursalim (SN) – tidak atau bukan masuk ranah Hukum Pidana, melainkan masuk ke dalam ranah Hukum Perdata dan Hukum Administrasi Negara adalah sangat beralasan secara hukum dengan dasar-dasar pemikiran dan fakta-fakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Dasar pemikiran dan fakta-fakta hukum kenapa masuk ke dalam ranah hukum perdata:

Pertama, kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan BLBI secara out of court settlement pada 1998 dilaksanakan melalui penyelesaian secara keperdataan yang dituangkan ke dalam perjanjian yang ditandatangani oleh pemerintah dan masing-masing pemegang saham bank yang memperoleh BLBI. Untuk perbankan swasta nasional, penyelesaian BLBI dengan para pemegang saham bank atau sering disebut dengan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dilakukan dalam tiga skema, yaitu (1) bagi pemegang saham bank yang menyerahkan aset dan nilainya mencukupi untuk melunasi kewajibannya, maka digunakan skema Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA); (2) bagi pemegang saham bank yang menyerahkan aset dan nilainya tidak mencukupi untuk melunasi kewajibannya, maka digunakan skema Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA); dan (3) bagi pemegang saham bank yang sama sekali tidak dapat menyerahkan aset, maka menandatangani Akta Pengakuan Utang (APU).

Ketiga skema tersebut merupakan manifestasi dari Teori Melebur (Oplossing Theory). Artinya setiap perjanjian perdata yang dilakukan oleh pemerintah selalu didahului oleh Keputusan Pejabat Administrasi Negara ke dalam bentuk kebijakan pemerintah yang kemudian melahirkan Teori Melebur, yakni kebijakan pemerintah itu dianggap melebur ke dalam tindakan hukum perdata.

Kedua, bahwa atas dasar itu, SN selaku pemegang saham pengendali (PSP) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI, sebagai obligator BLBI) menandatangani MSAA. SN mengikatkan dirinya dengan menandatangani MSAA hanya untuk menyelesaikan sejumlah kewajiban BDNI yang disepakati untuk ditanggungnya (vide Pasal 1 jo. Pasal 14.13 MSAA).

Ketiga, bahwa oleh karena SN telah melaksanakan seluruh kewajibannya sesuai dengan MSAA (“Closing”), maka pada 25 Mei 1999, Menteri Keuangan dan Kepala BPPN atas nama Pemerintah Republik Indonesia, dengan tanpa paksaan ataupun tekanan dari pihak mana pun, telah menerbitkan Surat Pembebasan dan Pelepasan (“Surat Release and Discharge”) yang ditandatangani oleh Kepala BPPN, Wakil Kepala BPPN, dan SN selaku PSP BDNI. Surat Release and Discharge tersebut dipertegas dan dinyatakan kembali oleh Pemerintah Indonesia dalam Akta Nomor 48 tanggal 25 Mei 1999 yang dibuat di hadapan Merryana Suryana, S.H. Notaris di Jakarta, oleh Wakil Kepala BPPN. Pada saat itu juga BPPN mengakui bahwa MSAA telah closing sebagaimana dibuktikan dengan facsimile tanggal 23 Juni 1999. 

Keempat, bahwa enam bulan setelah SN memenuhi seluruh kewajibannya dan MSAA dinyatakan closing pada tanggal 25 Mei 1999, yakni pada tanggal 1 November 1999, Glenn Yusuf selaku Kepala BPPN saat itu mengirimkan surat yang menyatakan bahwa SN telah memberikan pernyataan tidak benar (misrepresentasi) kepada BPPN mengenai kredit petambak PT Dipasena Citra Darmaja senilai Rp4,8 triliun sebagai kredit lancar (performing loan) sebelum pengalihan kredit petambak tersebut kepada BPPN, padahal kredit tersebut merupakan kredit macet (non performing loan/NPL). BPPN dalam suratnya tersebut meminta SN menambah pembayaran.

Bahwa kredit petambak yang dimaksud dalam Surat BPPN tersebut merupakan hak tagih BDNI terhadap para petambak sehingga merupakan aset BDNI. Aset tersebut melekat pada BDNI sehingga dengan sendirinya ikut diambil alih BPPN pada saat BDNI diambil alih oleh BPPN pada tanggal 4 April saat BDNI dinyatakan sebagai Bank Take Over (BTO). 

Kelima, SN sama sekali tidak pernah menyatakan kredit petambak sebagai kredit lancar dan tidak pernah mengalihkan/menyerahkan kredit petambak tersebut kepada BPPN dalam rangka memenuhi kewajibannya berdasarkan MSAA. Atas dasar itu, SN dalam suratnya tertanggal 12 November 1999 telah dengan tegas membantah isi surat BPPN dan menolak klaim BPPN mengenai adanya misrepresentasi yang dilakukan SN dengan me-refer atau berdasarkan pada ketentuan Pasal 12.2 (c) jo. Pasal 12.4 MSAA. 

Keenam, mengingat klaim BPPN mengenai misrepresentasi dalam suratnya tertanggal 1 November 1999 yang dengan tegas ditolak oleh SN melalui surat tertanggal 12 November,  dan klaim mengenai misrepresentasi tidak pernah diajukan oleh BPPN ke pengadilan sehingga tidak pernah ada putusan pengadilan yang menyatakan SN telah melakukan misrepresentasi, maka berdasarkan ketentuan Pasal 12.2 (c) jo. Pasal 12.4 MSAA, klaim misrepresentasi tidak pernah terbukti sehingga tidak ada kewajiban bagi SN untuk melakukan pembayaran atas klaim misrepresentasi tersebut. 

Setelah SN menyampaikan surat tertanggal 12 November 1999 yang berisi penolakan atas surat BPPN tanggal 1 November 1999, BPPN sama sekali tidak memberikan respons dan tidak lagi mempermasalahkan klaim misrepresentasi kredit petambak. 

Ketujuh, bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berdasarkan permintaan DPR RI tanggal 6 November 2000 melakukan Audit Investigasi atas pemenuhan kewajiban SN berdasarkan MSAA. Dalam Laporan Hasil Audit Investigasi No. 02/04/Auditama II/AI/05/2002 tertanggal 31 Mei 2002 (Laporan Audit Investigasi BPK 2002), BPK menyimpulkan bahwa MSAA telah dipenuhi (Closing) oleh SN pada tanggal 25 Mei 1999. 

Kedelapan, dalam rangka penutupan BPPN, BPK kembali melaksanakan pemeriksaan terhadap perjanjian PKPS pada BPPN. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK No. 34G/XII/11/2006 tertanggal 30 November 2006 (Laporan Audit BPK 2006), khususnya terhadap hasil pemeriksaan MSAA – BDNI, BPK menyimpulkan bahwa Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada SN, karena SN telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Inpres No. 8 Tahun 2002. Bahkan, pemerintah dalam jawabannya di depan Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 12 Februari 2008 menegaskan tetap berpegang pada Hasil Audit BPK 2006 tersebut. 

Kesembilan, 11 tahun kemudian, yaitu terhitung sejak Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Tahun 2006, pada Agustus 2017, BPK kembali melakukan Audit Investigasi atas permintaan KPK, yang kemudian audit investigasi itu dituangkan ke dalam Laporan Hasil Pemeriksaan yang berjudul ”Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam Rangka Penghitungan Kerugian Negara Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham/Surat Keterangan Lunas kepada Sjamsul Nursalim Selaku Pemegang Saham Pengendali BDNI pada Tahun 2004 Sehubungan dengan Pemenuhan Kewajiban Penyerahan Aset oleh Obligator BLBI kepada BPPN”

Terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif tersebut, ada beberapa “minderheidsnota” yang bersifat prinsipil dapat diajukan sebagai berikut: 

Satu, dari judul Laporan a quo, tampak Pemeriksa BPK mencampuradukkan antara “Obligator BLBI”, yaitu pihak yang memiliki kewajiban atas BLBI yang diterimanya dengan “Obligator MSAA”, yaitu pihak yang memiliki kewajiban berdasarkan MSAA. Atas dasar itu menjadi jelas antara BDNI dan SN adalah dua subjek hukum yang terpisah. Pihak yang menerima BLBI adalah BDNI, sehingga BDNI-lah yang menjadi “Obligator BLBI”, sedangkan SN adalah pihak yang mengikatkan diri dalam MSAA untuk membayar kewajiban BDNI sebesar Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) yang ditetapkan ataupun disepakati dalam MSAA, yaitu hanya sebesar/sejumlah Rp28,408 triliun. Penyerahan aset yang dilakukan oleh SN kepada BPPN adalah dalam kedudukannya sebagai “Obligator MSAA”, di mana kewajibannya timbul karena SN mengikatkan diri dalam MSAA.

Dua, BPK keliru memahami kredit (piutang BDNI) kepada petambak (loan to farmers) dan penjaminan PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wachyuni Mandira atas piutang tambak. 

Tiga, BPK keliru memahami jumlah kewajiban SN berdasarkan MSAA serta keliru memahami telah terjadi misrepresentasi, kapan dan di mana SN memberikan pernyataan (representasi) mengenai piutang BDNI kepada petambak sebagai aset lancar? SN sama sekali tidak pernah menyatakan dalam MSAA bahwa utang petambak sebagai aset lancar. Pihak yang mengetahui bahwa utang petambak kepada BDNI lancar atau macet adalah justru BPPN. Jadi, BPPN telah mengetahui kondisi aset BDNI, termasuk kondisi piutang BDNI terhadap petambak sebelum penandatanganan MSAA. Meskipun demikian, BPPN tetap menandatangani MSAA pada tanggal 21 September 1998 yang menetapkan kewajiban SN adalah sebesar Rp28,408 triliun.  

Dengan demikian, adalah keliru dan sangat tidak beralasan secara hukum SN dikatakan telah melakukan misrepresentasi atas piutang petambak, sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp4,8 triliun seakan-akan pada saat MSAA ditandatangani pada tanggal 21 September 1998 BPPN belum mengetahui kondisi utang petambak tersebut. Demikian pula tidak pernah ada bukti berupa putusan pengadilan yang menyatakan SN telah melakukan misrepresentasi. Bahkan, pemeriksa BPK sama sekali mengabaikan  Akta Letter of Statement No. 48 yang dibuat secara notarial sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, di mana SN dinyatakan telah memenuhi seluruh kewajibannya. Padahal, dalam audit-audit yang dilakukan oleh BPK sebelumnya (baik pada Laporan Audit Investigasi BPK Tahun 2002 maupun Laporan Audit BPK Tahun 2006), selalu ada rujukan pada Akta Letter of Statement. 

Laporan Audit Investigasi BPK Tahun 2017 tidak cermat. Ketidakcermatan itu tampak dari tidak adanya rujukan sama sekali atas data-data dan informasi-informasi yang berasal dari Laporan Investigatif BPK Tahun 2002 dan Laporan Audit Investigasi BPK Tahun 2006. Padahal, kedua audit tersebut melakukan pemeriksaan terhadap objek yang hampir sama dengan pihak-pihak yang juga hampir sama. Ketidakcermatan tersebut berakibat fatal yang mengakibatkan terjadinya ketidaksinambungan antar-laporan audit atas objek yang sama yang justru dilakukan oleh institusi kenegaraan yang sama (BPK RI).

Empat, hasil pemeriksa yang disajikan tersebut hanyalah didasarkan pada bukti-bukti yang  diajukan sepihak yang berasal dari penyidik KPK tanpa dilakukan konfirmasi terhadap SN dan pihak lain yang terkait. 

Lima, BPK dalam menentukan kerugian keuangan negara berdasarkan pemeriksaan investigatif tahun 2017 tidak menerapkan Asas Asersi yang membawa konsekuensi bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK Tahun 2017 menjadi batal demi hukum. 

Enam, BPK dalam melakukan pemeriksaan investigatif menyimpang dari Asas Independen, objektif, dan profesional, karena hanya membatasi pemeriksaan pada bukti-bukti sepihak yang diperoleh dari penyidik KPK dan tidak melakukan sendiri pengumpulan bukti-bukti secara independen dan objektif dari pihak yang diperiksa (auditee) dan pihak-pihak yang terkait agar diperoleh informasi/bukti yang benar, andal, kredibel, dan tidak bias. 

Semuanya itu selain melanggar ketentuan-ketentuan Pasal 1 angka 9, Pasal 1 angka 14, Pasal 6 ayat (5), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,  juga melanggar Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), khususnya Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP) 200 paragraf 28 (Lampiran III Peraturan BPK No. 1/2017) dan Kerangka Konseptual Pemeriksaan (KKP) Paragraf 45 (Lampiran I Peraturan BPK No. 1/2017).

Bersambung ke bagian 2 >>>>

*) Penulis adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung

Related Posts

News Update

Top News