Ringkasan Artikel
- Produksi dalam negeri kini mampu memenuhi standar tinggi internasional, seperti seluruh komponen bra Victoria’ Secret kini diproduksi di Indonesia.
- Industri TPT Indonesia memiliki prospek cerah ke depan, didukung oleh pasar domestik yang besar dan ketahanan menghadapi ketidakpastian global.
Oleh Cyrillus Harinowo, Komisaris Independen BCA
SIANG itu saya melakukan kunjungan bisnis yang menarik, yaitu mengunjungi pabrik tekstil yang merupakan nasabah bank kami, di daerah Cipondoh, Tangerang. Cipondoh merupakan kawasan tempat berdirinya beberapa industri. Tidak terlalu jauh dari Kota Jakarta.
Ada cerita menarik dari pabrik tekstil di Cipondoh itu. Ternyata, di pabrik itu diproduksi tekstil yang dibutuhkan oleh jaringan toko pakaian yang sangat terkenal dari Jepang, yaitu Uniqlo. Uniqlo sangat dikenal menggunakan tekstil dengan teknologi baru, seperti teknologi “Heattech” dan “Micromesh AIRism”. Di pabrik tersebut juga diproduksi kain yang diperlukan untuk memproduksi “bra and panties”, merek Victoria Secret.
Pabrik tersebut dimiliki oleh sebuah perusahaan tekstil yang sudah lebih dari 40 tahun berkarya di Indonesia, yaitu PT Winnersumbiri Knitting Factory. Perusahaan ini dibangun oleh seorang bapak yang berasal dari Muangthai (Thailand), yaitu Somboon Yuprappan, yang saat ini sudah berusia di atas 80 tahun dan sudah lebih dari 40 tahun tinggal di Indonesia.
Perusahaan tersebut terus berkembang, dikelola secara hati-hati oleh Bapak Somboon. Bahkan sudah berekspansi ke hilir dengan mengembangkan pabrik garmen di daerah Bawen, Jawa Tengah. Pabrik garmen tersebut, PT Sumber Bintang Rejeki, juga sudah saya kunjungi dan merupakan sebuah pabrik yang sangat aktif memproduksi pakaian dalam wanita dengan merek terkenal dari Amerika dan Eropa yaitu Calvin Klein, Warners, Lane Bryant, Target, C&A dan H&M.
Baca juga: RI Kena Tarif AS Tertinggi untuk Garmen, Tekstil hingga Udang, Airlangga Protes
Sementara, di sebelah pabrik mereka di Bawen tersebut juga berdiri sebuah pabrik yang dikelola secara bersama antara perusahaan dari Sumbiri Group dengan investor dari Jepang yaitu Toray yang juga aktif memproduksi pakaian untuk menyuplai Uniqlo dengan memanfaatkan bahan yang diproduksi Sumbiri di Cipondoh. Kedua pabrik tersebut mempekerjakan ribuan orang. Kebanyakan dari Bawen. Ada juga dari daerah-daerah lain.
Tahun lalu perusahaan tersebut kembali melakukan ekspansi dengan berencana membangun pabrik yang baru di kawasan Pekalongan. Untuk membangun pabrik tersebut, Sumbiri menyiapkan lahan seluas 15 hektare. Cukup luas untuk sebuah industri tekstil dan garmen secara terintegrasi. Perkembangan tersebut memberikan gambaran bahwa industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia ternyata tidaklah seperti yang banyak dibahas di media saat ini. Digambarkan seakan-akan industri tekstil itu “sunset industry”.
Baca juga: Tarif Impor Trump Ancam Industri Tekstil RI, PHK Diprediksi Bertambah
Dalam suatu diskusi dengan Pak Somboon Yurappan yang ditemani anaknya, Marinee, dan menantunya, Roy Setiawan, terungkap gambaran industri tekstil di Indonesia yang justru memberikan optimisme baru kepada saya. Pak Somboon memberikan ilustrasi yang menarik tentang industri garmen yang digelutinya.
Dulu untuk memproduksi sebuah beha Victoria Secret diperlukan 18 komponen yang hampir semuanya diimpor. Sekarang komponen tersebut sudah seluruhnya dibuat di Indonesia dengan kualitas sebagaimana standar yang ketat yang diminta oleh Victoria Secret. Hal itu sangat mempermudah dalam produksi beha tersebut. Sekarang ini Victoria Secret diproduksi oleh perusahaan asal Swedia yang membangun tiga pabrik di Indonesia.
Dari perkembangan yang ada sampai dengan saat ini, dikatakannya bahwa Indonesia akan menjadi “the next production base” bagi produk garmen dunia. Observasi semacam ini, sebagaimana diungkapkan seorang pengusaha yang sudah sangat berpengalaman, telah membuka mata saya bahwa ternyata industri tekstil di Indonesia bukanlah “sunset industry”, atau industri yang mau mati.
Sepenggal Cerita tentang Sritex
Sritex adalah industri tekstil terintegrasi yang berlokasi di Kota Solo. Perusahaan tersebut memiliki pabrik pemintalan (yang memproses kapas atau serat fiber menjadi benang) yang cukup masif kapasitasnya, dan terintegrasi dengan pabrik tekstil dan akhirnya bersambung dengan industri garmen yang banyak sekali didukung oleh tenaga kerja lokal yang sangat berdisiplin. Perusahaan yang dibangun Bapak Lukminto (alm.) tersebut dikenal sebagai perusahaan yang mampu menyuplai pakaian seragam militer dari Angkatan Bersenjata NATO sehingga reputasinya terbilang bagus dalam industri tekstil Indonesia.
Saya pernah berkunjung ke perusahaan tersebut. Yang saya kagumi adalah pabrik pemintalannya yang menggunakan lantai granit dan menggunakan mesin yang sangat canggih dari Jerman. Nama mesinnya adalah Oerlikon. Oerlikon ini sebetulnya nama sebuah kota kecil di pinggiran Kota Zurich, Swiss.
Baca juga: Jelang Lebaran, BPJS Ketenagakerjaan Percepat Pencairan JHT bagi Eks Karyawan Sritex
Pabrik Sritex di Solo tersebut memiliki tingkat automasi yang tinggi sehingga mampu bersaing dengan produk dari negara lain. Demikian juga pabrik garmennya yang didukung oleh peralatan yang canggih dan tenaga kerja yang sangat berdisiplin tinggi. Saya meyakini bahwa Sritex sebetulnya adalah suatu perusahaan tekstil terintegrasi yang ideal dan patut dibanggakan.
Ternyata gambaran yang cerah dari Sritex tersebut tidaklah mampu membuat perusahaan tersebut bertahan tatkala ada gempuran ataupun krisis intern sehingga akhirnya mengalami kebangkrutan. Saya bersyukur, dengan adanya upaya membangkitkan kembali perusahaan tersebut. Saya yakin akan potensi untuk bangkitnya kembali perusahaan tersebut. Dengan menggunakan bendera yang lain, cukup besar peluangnya bagi perusahaan tersebut untuk kembali berjaya.
Saya yakin bahwa yang terjadi pada Sritex bukanlah karena industri tekstil yang mengalami “sunset”. Kebangkrutan tersebut terjadi karena sebab-sebab yang lain.
Industri TPT Masih Berkibar
Sebuah industri yang dikatakan sudah “sunset” memiliki dampak yang besar pada sumber pendanaannya. Jika industri tekstil dikatakan sudah “sunset”, bank-bank pasti akan menjauhkan diri untuk memberikan pembiayaan kepada industri tersebut. Hal ini pernah terjadi sekitar 2008 yang lalu ketika industri tekstil di Indonesia dianggap mengalami sunset.
Baca juga: Deindustrialisasi Vs Industry Led Growth
Akhirnya kami melakukan kunjungan ke sentra tekstil di Bandung dan di Solo. Dari kunjungan tersebut, ternyata kesimpulannya adalah bahwa industri tekstil tersebut masih memiliki masa depan yang baik. Kesimpulan inilah yang membuat kredit perbankan masih terus mengalir ke industri tekstil tersebut.
Lalu, bagaimana dengan industri tekstil dan produk tekstil Indonesia saat ini ? Apakah mereka benar-benar sudah “sunset”?
Kita memang sangat disibukkan oleh masalah kebangkrutan beberapa industri tekstil di negara kita dalam beberapa tahun terakhir ini, terutama untuk kasus yang menimpa Duniatex dan Sritex. Kebetulan keduanya berasal dari Solo. Namun, jika dipelajari lebih lanjut, kasus kebangkrutan kedua perusahaan tersebut sifatnya lebih pada intern perusahaan tersebut dan tidaklah bersifat “sistemis” yang berkaitan dengan industri tekstil secara keseluruhan.
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber, ternyata investasi pada industri tekstil dan produk tekstil di 2023 tetap terjadi peningkatan pada investasi PMDN (penanaman modal dalam negeri), sementara investasi baru pada PMA (penanaman modal asing) sedikit mengalami penurunan. Akan tetapi, pada 2024 yang lalu PMA justru kembali mengalami kenaikan yang signifikan.
Perkembangan yang sama menariknya juga terjadi pada penyerapan tenaga kerja di industri tersebut. Sampai dengan Agustus 2024, tenaga kerja yang terserap pada industri garmen meningkat cukup tajam dibandingkan dengan setahun sebelumnya. Jika di 2023 tenaga kerja pada industri garmen mencapai 2,393 ribu tenaga kerja, sedangkan pada Agustus 2024 telah mencapai 2,895 ribu. Sementara, penyerapan tenaga kerja pada industri tekstil relatif stabil pada angka sedikit di atas 1 juta orang.
Baca juga: Menakar Krisis Moneter dengan Makin Melemahnya Rupiah di Tengah Gejolak Perang Dagang Global
Memang benar bahwa terjadi penutupan berbagai pabrik di daerah yang tingkat UMR-nya tinggi. Namun, lebih banyak lagi pabrik yang dibangun di daerah yang UMR-nya lebih rendah dan mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Dengan demikian, dampaknya secara keseluruhan ialah menghasilkan penyerapan tenaga kerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang justru mengalami peningkatan.
Perkembangan industri tekstil dan pakaian jadi juga tampak pada perkembangan ekspor mereka. Ternyata sampai dengan 2024 yang lalu ekspor TPT tetap mengalami perkembangan yang positif. Pada 2024 ekspor pakaian jadi Indonesia mencapai US$4.608 juta, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dengan melihat perkembangan tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa perkembangan industri TPT Indonesia tetap memiliki masa depan yang positif di tengah ketidakpastian global saat ini. Terlebih lagi dengan pasar domestik yang sangat besar, mestinya industri TPT Indonesia tetap memiliki prospek yang menjanjikan di tahun-tahun mendatang. (*)