Oleh Cyrillus Harinowo, pengamat ekonomi
PAGI itu, saya melakukan perjalanan ke San Diego Hill di Karawang, melewati Jalan tol Jakarta Cikampek dan berhenti di kedai kopi Rest Area KM 39. Perjalanan berjalan relatif lambat karena banyaknya truk besar, baik mengangkut kontainer maupun mobil baru yang dibawa dari pabrik ke distributor mobil tersebut.
Dari kedai kopi tersebut saya memandangi lalu lintas di jalan tol di depan kedai yang memang luar biasa padatnya. Pemandangan tersebut awalnya mirip dengan pemandangan di jalan tol dari Genoa ke Venesia di Italia, yang juga merupakan koridor industri Italia Utara. Namun, jika kita bandingkan selama sepuluh tahun terakhir, tampak nyata bahwa jumlah traffic di Italia tersebut tak banyak berbeda dari tahun ke tahun. Sementara, jalan Tol Jakarta-Cikampek mengalami peningkatan kepadatan yang luar biasa, bahkan juga setelah dibangunnya Jalan Tol Layang MBZ.
Kawasan industri besar yang merupakan pionir di koridor tersebut adalah Kawasan Industri Jababeka yang dikembangkan Bapak Sudharmono pada 1989. Keberhasilan pengembangan kawasan industri tersebut akhirnya disusul oleh kawasan industri yang lain berderet-deret dari Jakarta sampai dengan Cikampek, dan saat ini bahkan sudah memanjang lagi ke daerah Subang. Kawasan industri yang awalnya berisi pabrik-pabrik yang bermacam-macam, antara lain pabrik Unilever di Jababeka, akhirnya berkembang menjadi pusat kawasan industri otomotif di berbagai kawasan industri tersebut.
Kawasan Industri Karawang (Kawasan International Industrial City/KIIC), misalnya, merupakan sentra pembuatan mobil Toyota yang memiliki tiga pabrik di kawasan tersebut. Sementara, di Kawasan Industri Delta, beberapa pabrik mobil, antara lain Daihatsu, Wuling, Mitsubishi, dan Hyundai, berlokasi di kawasan tersebut. Dari berbagai kawasan industri inilah, mobil yang sudah jadi hasil produksi mereka dikirim ke berbagai dealer di seluruh Indonesia dengan menggunakan troli pengangkut mobil ataupun diekspor melalui pelabuhan Tanjung Priok, dan belakangan disusul dengan Pelabuhan Patimban.
Industri Otomotif tersebut merupakan sektor ekonomi yang sangat penting karena menggambarkan kekuatan dari sektor industri kita. Dewasa ini, Indonesia merupakan produsen mobil papan atas di dunia dan bersaing dengan Muangthai memperebutkan posisinya sebagai Detroit of Asia.
Baca juga: Pagi Trump, Sore Oncoms Ketika Demokrasi Difermentasi
Kokohnya Sektor Industri Indonesia
Gambaran visual yang tampak dari jumlah kendaraan di jalan tol Jakarta Cikampek tersebut menggambarkan kokohnya sektor industri manufaktur di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Barat. Di provinsi tersebut juga berkembang berbagai industri di kawasan tol Cipularang hingga ke kota Bandung. Namun, perkembangan industri Pulau Jawa dewasa ini sudah makin menyebar ke seluruh pulau.
Provinsi Jawa Tengah dan DIY memiliki keunggulan dari sisi tingkat UMR yang lebih rendah serta tenaga kerja yang lebih “friendly” terhadap investor. Oleh karena itu, wilayah tersebut menjadi destinasi penting bagi investor luar negeri saat memutuskan investasi di Indonesia.
Kawasan Industri Batang, misalnya, dewasa ini menampung investasi dari berbagai negara. LG kemungkinan besar masih tetap akan berinvestasi di sini. Investasi lain seperti SEG Solar dari Texas pun sedang membangun pabrik solar panel di kawasan industri tersebut. Sementara itu, perusahaan patungan Sinar Mas, Indonesia Power, dan Trina dari Tiongkok juga membangun pabrik solar panel di Kawasan Industri Kendal, tidak jauh dari Kawasan Industri Batang. Kawasan Industri Kendal yang dibangun oleh Jababeka dan Sembawang Corporation dari Singapura tersebut memang cukup laris memasarkan kawasan industrinya.
Sementara itu, banyak pabrik yang berdiri di sepanjang koridor jalan tol maupun jalan nontol di Pantai Jawa Tengah yang terus berlanjut sampai dengan Semarang, Bawen, Salatiga, Boyolali, dan Sukoharjo. Pabrik tersebut sebagian besar merupakan pabrik sepatu, tekstil, dan garmen yang mengandalkan ribuan tenaga kerja dengan UMR separuhnya dari UMR di Jawa Barat.
Bahkan, di koridor Semarang-Kudus ratusan pabrik juga berdiri dan beroperasi, meski gangguan banjir rob dari laut kadang terjadi. Yang menarik adalah Kota Kudus yang padat dengan industri sehingga menjadi sulit untuk mencari karyawan dalam jumlah banyak di tempat tersebut. Oleh karena itu, pabrik rokok di kota tersebut harus berekspansi ke kabupaten lain untuk menambah kapasitas produksinya.
Sementara itu, industri manufaktur di Jawa Timur berkembang pesat, dari kawasan industri Gresik yang dewasa ini banyak menghasilkan industri besar, seperti Smelter Freeport, pabrik kaca Xinyi, dan sebagainya, sampai ke Madiun dan bahkan Banyuwangi yang dewasa ini dikembangkan menjadi sentra pembuatan kereta api yang merupakan patungan antara PT INKA dengan Stadler Rail dari Swiss.
Di kota Surabaya, PT PAL juga terus aktif mengembangkan industri perkapalan untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. Sementara, di Kota Malang, Adiputro merupakan perusahaan pembuatan karoseri bus yang mewah dan memiliki kapasitas besar, dan bahkan sudah banyak menerima pesanan bis dari Singapura.
Perkembangan industri di luar Jawa juga meningkat sangat pesat sebagai dampak dari hilirisasi. Pulau Sumatra (termasuk terakhir pabrik alumina di pulau Bintan dan pabrik solar panel di Batam) dan Pulau Kalimantan (yang banyak berkembang industri alumina di Kalimantan Barat dan Kawasan Industri Hijau di Kalimantan Utara) mengalami perkembangan yang luar biasa. Demikian juga Sulawesi, seperti kawasan industri Morowali, Konawe, Pomalaa, dan Sorowako, merupakan pusat pertumbuhan baru yang luar biasa. Saya banyak berkunjung ke wilayah tersebut dan menyaksikan sendiri bangkitnya suatu kawasan industri yang sangat luas.
Sementara itu, Provinsi Maluku Utara dengan pusatnya di berbagai kabupaten di Pulau Halmahera (termasuk Pulau Obi yang merupakan bagian dati Kabupaten Halmahera Selatan), mengalami perkembangan yang luar biasa. Kawasan Industri Weda Bay, misalnya, bangkit dengan cepat dan akan segera menyusul Morowali.
Deindustrialisasi vs Industry Led Growth
Berbagai cerita tersebut menggambarkan kokohnya industri manufaktur di Indonesia. Bahkan, jika kita melihat data impor Indonesia, sebagian besar (yaitu 70 persen di 2023 dan 72,5 persen di 2024) adalah impor bahan baku yang akan diproses menjadi barang jadi oleh industri manufaktur di Indonesia. Demikian pula dengan impor barang modal yang dipergunakan untuk pengembangan sektor industri manufaktur. Hanya sebagian kecil yang impornya merupakan barang konsumsi.
Demikian juga ekspor Indonesia yang dewasa ini didominasi ekspor produk manufaktur. Pada Januari 2025, ekspor industri pengolahan merupakan 79,86 persen dari seluruh ekspor, meningkat dibandingkan dengan 73,31 persen pada Januari 2024. Perkembangan ini sama sekali tidak menunjukkan terjadinya “deindustrialisasi” di Indonesia. Saya bahkan sangat yakin, yang terjadi di Indonesia adalah “industry led growth”, yaitu bahwa perekonomian Indonesia ini tumbuh ditarik oleh sektor industri manufaktur.
Lalu, jika demikian, kenapa di Indonesia berkembang kuat isu terjadinya deindustrialisasi? Menurut pendapat saya, hal ini terjadi karena data statistik kita memang menggambarkan hal tersebut. Di sinilah logika saya mulai mengalami pergulatan.
Saya merupakan salah satu pionir yang mengembangkan macro economic modelling di Bank Indonesia (BI). Bahkan, saya pernah melakukan riset di Central Planning Bureau di Den Haag, Belanda, yang didirikan oleh pemenang Nobel Ekonometri, yaitu Jan Tinbergen, yang merupakan pusat think tank Pemerintah Belanda, selama tiga bulan. Latar belakang ini hanya ingin menggambarkan bahwa saya lumayan terbiasa bergulat dengan data statistik makro Indonesia.
Baca juga: Dampak Kebijakan Tarif Trump terhadap Risiko Perbankan di Indonesia
Menurut saya, permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah statistik sektor industri manufaktur itu melibatkan puluhan ribu perusahaan yang memang memerlukan kompetensi yang luar biasa untuk memperoleh data yang akurat. Ini jika kita bandingkan dengan data sektor telekomunikasi, cukup beberapa perusahaan telekomunikasi besar, seperti Telkom, Indosat, XL, dan Smartfriend, yang memiliki data yang lebih transparan dan manageable.
Kesulitan mengumpulkan data inilah yang akhirnya menghasilkan data subsektor industri logam dasar yang sama sekali tidak menggambarkan ingar bingarnya hilirisasi. Jika data ekspor iron and steel di ekspor kita mengalami peningkatan lebih dari USD25 miliar sejak 2014, maka subsektor industri logam dasar hanya mengalami peningkatan tidak jauh dari Rp100 triliun selama periode yang sama.
Rasanya kita perlu meningkatkan kualitas data statistik kita, minimal dimulai dengan penghitungan kembali tahun dasar data PDB yang biasanya selalu dibuat setiap sepuluh tahun sekali, dan dewasa ini tahun dasar masih menggunakan tahun 2010. Ini saatnya untuk melakukan rekalibrasi data strategis kita.(*)