Oleh Iman Sugema, ekonom senior INDEF
DI Indonesia, kita akrab dengan ungkapan “pagi tempe, sore dele”. Sebuah sindiran bagi mereka – dalam hal ini public figure – yang dianggap plin-plan. Kata-katanya bisa berubah drastis dalam hitungan hari, bahkan jam. Ungkapan ini tiba-tiba terasa sangat relevan ketika kita menyaksikan dinamika kekuasaan yang terjadi di Amerika Serikat (AS) saat ini, di era kedua Donald Trump menjabat sebagai Presiden AS.
Di tengah gegap gempita dunia akan demokrasi, Trump menghadirkan sesuatu yang unik sekaligus mengkhawatirkan: sebuah gaya pemerintahan yang saya sebut sebagai Oncoms, kependekan dari one country, one man show.
Konsep ini menggambarkan bagaimana satu negara besar bisa dijalankan layaknya pertunjukan tunggal, di mana sang pemimpin menjadi bintang utama, penulis naskah, sekaligus sutradara. Demokrasi, dalam skema ini, tidak lagi merupakan sistem partisipatif yang sehat, melainkan panggung pribadi seorang tokoh karismatik yang lebih peduli pada citra dan loyalitas ketimbang transparansi dan akuntabilitas.
Baca juga: Dampak Kebijakan Tarif Trump terhadap Risiko Perbankan di Indonesia
Kembalinya Trump ke Gedung Putih di tahun 2025 membawa serta gaya lama yang kini dikemas dengan cara yang lebih berani. Keputusan-keputusan ekonomi dan kebijakan luar negeri diumumkan secara impulsif, sering kali lewat media sosial pribadinya. Baru-baru ini, ia menetapkan tarif impor besar-besaran, yang langsung mengguncang pasar global. Namun, hanya dalam hitungan hari, keputusan itu diubah. Bukan lewat konferensi pers resmi atau keterangan dari Kementerian Perdagangan, melainkan melalui unggahan media sosial yang berbunyi, “THIS IS A GREAT TIME TO BUY!!! DJT”.
Pasar pun bergejolak. Saham-saham melonjak. Tak lama, terbongkar bahwa beberapa sekutu dekat Trump diketahui telah membeli saham teknologi besar sehari sebelumnya. Publik mencium bau tak sedap, seperti oncom yang disimpan terlalu lama di dapur kekuasaan. Sejumlah tokoh menyerukan penyelidikan dugaan insider trading. Namun, seperti banyak isu etika di sekeliling Trump, semuanya tampak menguap begitu saja – tecerna oleh sistem yang semakin terbiasa dengan kegilaan yang dianggap normal.
Apa yang kita saksikan bukan sekadar praktik kekuasaan yang eksentrik, tapi sebuah sistem politik yang tengah difermentasi. Persis seperti oncom, makanan khas Sunda yang terbuat dari ampas atau sisa bahan pangan yang difermentasi agar bisa kembali dikonsumsi, Oncoms adalah produk dari sisa-sisa demokrasi yang telah lama diabaikan: etika yang ditinggalkan, lembaga yang dilemahkan, dan budaya hukum yang dikalahkan oleh kepentingan pribadi.
Trump memang bukan satu-satunya politisi di dunia yang menjadikan dirinya pusat semesta politik. Namun, ia berhasil menyulap demokrasi terbesar di dunia menjadi ajang personal branding, dengan loyalis yang bersorak tiap kali ia membuat kebijakan. Bukan karena substansinya, melainkan karena dramanya. Hari ini ia berbicara soal nasionalisme ekonomi, esok membatalkannya demi menaikkan indeks saham. Pagi Trump, sore Oncoms.
Yang membuat semua ini lebih ironis adalah bagaimana publik sebagian besar tampak tidak lagi terkejut. Sebagian sudah terbiasa, sebagian lagi memilih tutup mata, dan sisanya hanya bisa tertawa pahit. Di sinilah letak bahayanya: ketika kekuasaan yang menyimpang dianggap sebagai hiburan, dan pelanggaran etika dilihat sebagai kecerdikan politik.
Dari Indonesia, kita tidak bisa hanya menjadi penonton. Kita punya pengalaman panjang dengan politik yang terlalu terpusat pada satu figur. Kita tahu bagaimana suara rakyat bisa diseret ke arah yang membahayakan ketika kritik dianggap pengkhianatan dan sistem pengawasan dianggap gangguan. Maka dari itu, kita justru punya kapasitas untuk membaca pola ini lebih awal, dan menyebutnya dengan jujur: ini bukan lagi demokrasi yang sehat, ini Oncoms.
Baca juga: Ekonomi antara Teori dan Praktik, Setelah “Beyond” Ekonomi Donald Trump
Makanan seperti oncom bisa sangat lezat jika dimasak dengan baik. Tapi, jika dibiarkan basi, ia bisa menjadi racun. Begitu pula demokrasi. Jika terus dibiarkan jadi panggung satu orang, tanpa pengawasan, tanpa keseimbangan, maka ia bukan lagi sistem rakyat, melainkan sarkasme sejarah.
Dalam dunia yang katanya semakin cerdas dan transparan, bisa jadi tantangan terbesar demokrasi bukan datang dari senjata atau kudeta. Tapi, dari satu orang, satu akun media sosial, dan satu panggung kekuasaan yang terus dipenuhi tepuk tangan – meski aromanya sudah mulai tak sedap.
Catatan: Artikel ini merupakan hasil kolaborasi antara Iman Sugema dan teknologi AI generatif ChatGPT. Ide, struktur, dan sudut pandang utama disusun oleh penulis, dengan bantuan AI untuk eksplorasi narasi dan penyuntingan gaya bahasa.