Jakarta – Penerapan kebijakan tarif impor Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebesar 32 persen dinilai akan berdampak signifikan terhadap meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di Tanah Air, khususnya pada sektor tekstil yang saat ini pun sudah dalam kondisi terpuruk.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) sekaligus Ketua Focus Group Ketenagakerjaan, Kemiskinan, dan Layanan Publik ISEI, Ninasapti Triaswati menjelaskan, komoditas ekspor Indonesia ke AS didominasi oleh industri padat karya, seperti tekstil dan garmen, alas kaki/sepatu, serta mesin dan barang-barang elektrik lainnya.
AS masih menjadi negara tujuan ekspor nonmigas terbesar kedua setelah China, dengan pangsa sebesar 11,26 persen pada Februari 2025 dan menyumbang surplus sebesar USD2,34 miliar.
“Ketika kita mau bicara tenaga kerja memang akan melalui sektor riil, tapi peran sektor garmen sudah menyusut 5 tahun terakhir, ketika ada tekstil kena tarif Trump itu akan memperburuk,” ujar Nina dalam ISEI Open Discussion, Rabu, 9 April 2025.
Baca juga: Pasar Modal Tambah 1 Juta Investor Baru, Mayoritas Ritel
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, pada periode Januari-Desember 2024, jumlah PHK tercatat sebanyak 77.965 orang, meningkat 20,21 persen dibandingkan 2023 yang berjumlah 64.855 orang. Bahkan, dalam dua bulan pertama 2025, jumlah PHK telah mencapai 18.610 orang.
Nina menyatakan, jika langkah negosiasi tidak berhasil menurunkan tarif atas produk ekspor Indonesia, maka diperkirakan penurunan produksi pada sektor tekstil/garmen dan alas kaki/sepatu akan memicu tambahan PHK di sektor manufaktur.
Usulan Kebijakan dari Dua Sisi
Nina pun memberikan saran kebijakan dari dua sisi. Pertama, dari sisi industri, ia menyarankan perlunya penguatan data sektor riil dan peningkatan impor dari AS untuk menurunkan surplus perdagangan Indonesia terhadap AS.
“Sektor riil mana yang kita fokuskan, kalau kita lihat tekstil/garmen surplus itu maka kita bisa impor kapas,” jelasnya.
Baca juga: Presiden Prabowo Perintahkan Penghapusan Kuota Impor, Ini Alasannya
Kedua, dari sisi perlindungan tenagakerja, diperlukan penguatan data ketenagakerjaan dan PHK dari berbagai sektor, peningkatan koordinasi antar kementerian/lembaga (K/L), pembentukan satuan tugas (satgas), serta upaya memperkecil kesenjangan data antara Kementerian Ketenagakerjaan dan serikat pekerja. (*)
Editor: Yulian Saputra