Jargon Hilirisasi dan Pemanfaatan Devisa Dana Hasil Ekspor

Jargon Hilirisasi dan Pemanfaatan Devisa Dana Hasil Ekspor

Oleh Hendrikus Passagi, advokat dan pengamat pasar keuangan

BENTUK kebijakan devisa bebas saat ini merupakan produk kebijakan moneter hasil intervensi dan tekanan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), yang kemudian berhasil mengarahkan keputusan politik di parlemen pada 1999, untuk mencabut Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa dan menggantinya dengan UU Nomor 24 Tahun 1999. Sehingga, lalu lintas devisa menjadi bebas sebebasnya tanpa ancaman sanksi pidana penjara.

Pembentukan UU hasil intervensi dan tekanan IMF ini pada 1999 justru membuka jalan kemudahan bagi para pelaku usaha untuk “merampok kenikmatan dana” sebagian besar hasil penjualan ekspor dari penggalian sumber daya alam Indonesia dengan memarkirnya di luar negeri. Business model yang sudah menjadi pengetahuan umum ini hanya menyejahterakan industri keuangan negara tetangga terdekat Indonesia dan sekitarnya, sementara industri keuangan dalam negeri miskin devisa valas.

Risiko makin berkurangnya sumber daya alam dengan segala dampak kerusakan alamnya ditanggung rakyat Indonesia sebagai tuan rumah. Sementara, dana hasil ekspor diparkir di luar negeri dan hanya dinikmati sebesar-besarnya oleh kaum kapitalis asing dan/atau kapitalis domestik berbaju asing dengan membentuk struktur perusahaan yang berlapis-lapis agar tampak rapi dan elok.

Baca juga: RI Lobi AS Tekan Tarif Ekspor, Ini Isi Tawarannya

Kebijakan dana hasil ekspor oleh Prabowo melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025 merupakan langkah awal yang sangat bermanfaat dalam upaya mewujudkan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam secara utuh dari hulu ke hilir yang sering diucapkan dengan jargon “hilirisasi”. Juga, memperkuat cadangan devisa negara dan meningkatkan ketersediaan serta likuiditas valas di dalam negeri.

Namun, kebijakan baru Prabowo itu masih perlu diperkuat dan dilengkapi dengan sanksi pidana penjara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 1964. Sayangnya, UU tersebut telah dicabut dan diganti dengan UU Nomor 24 Tahun 1999 yang hanya mewajibkan pelaporan dengan sanksi terbatas pada denda atau penalti yang relatif sangat kecil, yaitu maksimal hanya Rp1 miliar.

Mengingat kewenangan dan struktur perundang-undangan di Tanah Air, maka kebijakan Prabowo yang masih di level PP itu perlu ditingkatkan ke level UU. Sehingga, dapat memberi ruang kepada negara untuk melakukan penuntutan pidana penjara dan/atau pidana perampasan aset bagi para eksportir yang dengan sengaja memarkir dana hasil ekspor di luar negeri.

Penguatan kebijakan Prabowo melalui regulasi di tingkat UU akan makin meningkatkan dan memaksimalkan manfaat program hilirisasi sumber daya alam nasional: bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.

Baca juga: ISEI Ajak Percepat Hilirisasi Perikanan untuk Dorong Ekonomi dengan Cara Ini

Selain itu, definisi korupsi perlu diperluas dan mencakup tindakan memarkir dana hasil ekspor di luar negeri sebagai perbuatan melawan hukum yang identik dengan tindakan pidana korupsi, yang harus diganjar dengan sanksi penjara dan perampasan aset. Dalam jangka panjang, penguatan kebijakan ini berpotensi memperbaiki gini ratio atau pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Tentu hal itu akan berpotensi menimbulkan banyak tantangan dari para oknum pelaku usaha eksportir sumber daya alam nasional yang merasa kepentingan finansialnya terganggu. Termasuk, potensi tantangan dari sejumlah oknum politisi yang tak sejalan dengan pemikiran ini lantaran memiliki jaringan dengan para pemodal. Demikianlah risiko dan/atau konsekuensi dari iklim demokrasi dengan model multipartai. (*)

Related Posts

Top News

News Update