Jakarta – Meski Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan jeda waktu 3 bulan atau 90 hari kebijakan tarif resiprokal, namun pelemahan nilai tukar rupiah masih membayangi ekonomi Indonesia.
Situasi ini pun masih menimbulkan kekhawatiran terhadap likuiditas valuta asing (valas) di sektor perbankan nasional.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Direktur Bank CIMB Niaga (CIMB Niaga) Lani Darmawan menilai, pengenaan tarif timbal balik yang dibuat Trump menjadi tantangan untuk industri di Tanah Air, tak terkecuali di perbankan.
“Saya rasa ini menjadi challenge untuk semua industri secara domestik juga,” kata Lani kepada Infobanknews, Kamis, 10 April 2025.
Bos BNGA itu menuturkan, pihaknya terus memantau risiko dampak tarif Trump terhadap likuiditas valas perseroan. Termasuk pula menjalin hubungan dengan para nasabah.
“CIMB Niaga fokus untuk menjalin hubungan dengan nasabah guna mengetahui situasi dan kondisi yang sebenarnya,” bebernya.
Baca juga : Tarif Trump Ganggu Likuiditas Valas Perbankan? DBS Indonesia Buka Suara
Meski begitu, diakuinya bahwa likuiditas dan tingginya cost of fund masih masih tantangan terbesar dalam membesarkan bisnis perusahaan.
“Saat ini yang menjadi challenge utama adalah likuiditas dan tingginya cost of fund, sehingga kami prediction pertumbuhan loan juga akan lebih mild,” jelasnya.
Baca juga : Presiden Prabowo Akui Tarif Trump Picu Ketidakpastian Ekonomi Global
Mengacu pada data Bank Indonesia (BI), simpanan valas di perbankan dalam bentuk Dana Pihak Ketiga (DPK) masih menunjukkan pertumbuhan positif. Per Februari 2025, DPK valas tercatat sebesar Rp1.317,5 triliun.
Adapun pada periode yang sama, pertumbuhan DPK valas mencapai 4,2 persen secara tahunan (yoy), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 3,9 persen yoy. (*)
Editor: Galih Pratama