Warisan Utang 8 Presiden RI: Dari Soekarno hingga Prabowo

Warisan Utang 8 Presiden RI: Dari Soekarno hingga Prabowo

Poin Penting

  • Setiap presiden memiliki strategi berbeda terkait utang, dari membangun infrastruktur hingga menstabilkan ekonomi pasca-krisis.
  • Rasio utang terhadap PDB Indonesia pernah mencapai 321% di akhir era Soeharto, tetapi saat ini stabil di 39–40% PDB.
  • Pemerintah Prabowo menjaga rasio utang di bawah 40% PDB dan defisit APBN 1,56%, dianggap masih aman menurut standar internasional.

Jakarta – Sejak berdiri pada 1945, Indonesia selalu menghadapi urusan utang negara. Dari Soekarno, Soeharto, hingga pemerintahan Prabowo, masing-masing presiden memiliki strategi dan konteks berbeda terkait utang.

Ada yang berutang karena warisan kolonial Belanda, ada pula demi membangun industri hingga terpaksa berutang untuk menyelamatkan ekonomi pasca krisis.

Karena itu, membandingkan utang antar-presiden tidak hanya soal angka, tetapi juga strategi dan warisan kebijakan fiskal yang mereka tinggalkan.

Baca juga: Utang RI Tembus US$420,7 Miliar, Ini Penyumbang Terbesar

Pertanyaan klasik pun muncul, siapa Presiden RI yang paling hemat, dan siapa yang paling boros dalam berutang untuk kepentingan negeri?

Berikut kilas balik warisan utang dari zaman Soekarno hingga Prabowo, delapan Presiden RI dengan gaya ekonomi dan fiskal tersendiri.

Era Soekarno (1945–1967)

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, utang negara terdiri dari warisan utang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Berdasarkan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, Indonesia menerima warisan utang dari pemerintah kolonial Hindia Belanda sebesar USD 1,13 miliar atau 4,3 miliar gulden.

Utang ini akhirnya membuat defisit APBN bengkak hingga Rp9 miliar. Pada periode 1959-1965, pemerintah menerima pinjaman luar negeri, terutama dari Uni Soviet, US Exim Bank dan IMF.

Dana segar itu pun mengalir untuk berbagai proyek prestisius, semisal  Gelora Bung Karno, Monumen Nasional (Monas), pabrik baja Krakatau Steel, hingga pesawat terbang MiG dan kapal perang buatan Soviet.

Baca juga: Mobil Dinas Eks Presiden Soekarno Antar Ganjar Mahfud ke KPU, Segini Harga Cadillac Fleetwood 75 Limousine

Namun, kebijakan memoles wajah Ibu Kota justru membuat ekonomi goyah. Inflasi pun mencapai lebih dari 600 persen pada pertengahan 1960-an, dan utang luar negeri menumpuk hingga lebih dari USD 2,4 miliar. Artinya, sekitar 29 persen terhadap produk Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa itu.

Era Soeharto (1967–1998)

Pada rezim Soeharto, pertumbuhan ekonomi RI memang melesat dengan rata-rata 6–7 persen per tahun. Namun, kondisi ini harus dibayar mahal dengan lonjakan utang luar negeri. 

Bahkan, saat Soeharto lengser dari jabatannya pada 1998, ia meninggalkan utang luar negeri senilai Rp551 triliun, atau setara dengan 57,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat itu.

Baca juga: Kilas Balik Kepemimpinan Soeharto dan Warisan Krisis Ekonomi 1998

Sebagai perbandingan, rasio utang terhadap PDB pada bulan Desember 1998 (setelah Soeharto lengser) mencapai sekitar 321 persen dari PDB tahunan akibat devaluasi mata uang yang drastis selama krisis moneter.

Era BJ Habibie (1998-1999)

Pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, Indonesia mewarisi beban utang luar negeri yang begitu besar akibat hantaman krisis moneter 1997-1998. 

Adapun total utang luar negeri Indonesia mencapai Rp939 triliun. Jumlah ini meningkat pesat dibandingkan dengan saat Soeharto lengser, di mana utang luar negeri hanya Rp551 triliun.

Baca juga: Utang RI Tembus Rp9.138 Triliun, Purbaya: Enggak Usah Terlalu Panik!

Diketahui, Presiden Habibie mewarisi ekonomi yang runtuh akibat krisis Asia. Rupiah sempat terjun bebas hingga Rp16.000 per dolar AS, dan perbankan nasional kolaps.

Ia pun berhadapan dengan utang dalam negeri akibat program rekapitalisasi bank yang mencapai Rp600 triliun lebih. 

Hebatnya, pada masa singkat kepemimpinannya, Habibie berhasil menstabilkan inflasi dan menata kembali kepercayaan pasar. 

Related Posts

News Update

Netizen +62