Jakarta – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah memberlakukan tarif 25 persen untuk barang-barang dari Kanada dan Meksiko. Sementara itu, tarif barang impor dari China juga telah dinaikkan menjadi 20 persen.
Khusus China, dampak pengenaan tarif AS kali ini diperkirakan lebih terbatas dibandingkan perang tarif pada 2018 lalu.
“Karena China secara gradual sudah melakukan diversifikasi perdagangan ke negara dan kawasan lain, tidak terfokus pada AS,” kata Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Dimas Ardhinugraha dalam Seeking Alpha, dikutip Rabu, 12 Maret 2025.
Ia mencontohkan, kontribusi AS terhadap total ekspor China yang pada tahun 2016 masih 20 persen, pada 2023 lalu sudah turun menjadi hanya 13 persen.
Baca juga : Trump Terapkan Tarif Impor Baru, Begini Dampaknya ke Ekonomi Global dan Domestik
Sementara itu, ekspor China ke negara lain meningkat signifikan. Misalnya, ekspor ke kawasan negara berkembang yang kontribusinya naik dari 31 persen menjadi 41 persen.
Selain diversifikasi, kata dia, pemerintah China juga mulai menunjukkan sikap yang lebih suportif terhadap sektor swasta domestik. Ini berlawanan dengan kebijakan sebelumnya yang menekan sektor swasta, terutama di sektor teknologi, edukasi, dan hiburan.
“Dukungan bagi sektor swasta domestik ini diharapkan dapat menggairahkan aktivitas ekonomi domestik, memitigasi dampak eksternal dari tarif AS,” jelasnya.
Dampak bagi Indonesia
Lebih lanjut, meski Indonesia tidak termasuk dalam daftar negara yang dikenai tarif impor AS, pemerintah tetap perlu waspada terhadap dampak rambatan, khususnya terkait ekspor baja ke AS.
“Jika kita telaah berdasarkan perkembangan dan informasi yang telah diumumkan AS, saat ini yang langsung berdampak ke Indonesia adalah pengenaan 25 persen tarif untuk baja, dan potensi tarif resiprokal,” bebernya.
Baca juga : Menko Airlangga Sebut RI Cukup ‘Imun’ Terhadap Ancaman Tarif Impor Trump
Berdasarkan data Manulife, ekspor baja Indonesia ke AS pada 2023 hanya mencapai USD199 juta. Angka ini setara dengan 0.07 persen dari total ekspor seluruh komoditas Indonesia yang mencapai USD264 Miliar.
“Jadi, dampaknya cukup minim,” tambahnya.
Sementara itu, risiko dari tarif resiprokal juga diperkirakan terbatas, karena rata-rata tarif antara Indonesia dan AS saat ini sudah setara di kisaran 4 persen.
Meski begitu, Indonesia masih harus menunggu kepastian apakah tarif resiprokal yang akan diimplementasikan mengacu pada level rata-rata tarif antarkedua negara, atau berdasarkan kategori barang.
“Saat ini kami menyimpulkan, risiko tarif tetap ada walaupun minim, dan yang harus kita lebih sikapi adalah risiko tidak langsung yang timbul dari potensi penurunan perdagangan global dan permintaan ekspor dari Indonesia, serta kenaikan harga barang-barang impor secara umum,” pungkasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra