Jakarta – Co-payment, istilah yang akhir-akhir ini santer dibicarakan di industri asuransi kesehatan, ternyata bukan barang baru bagi Prudential Indonesia. Bahkan, sebelum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mengatur lewat Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 7 Tahun 2025, perusahaan ini sudah lebih dulu menerapkan skema serupa.
Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Chief Health Officer Prudential Indonesia, Yosie William Iroth saat ditemui usai acara Media Briefing & Signing Ceremony PruPriority Hospitals di Jakarta, Selasa (24/6).
“Prudential sebenarnya sudah punya produk dengan co-payment, walaupun nomenklaturnya deductible. Jadi prosesnya untuk Prudential tidak berubah,” ujarnya.
Baca juga: Skema Co-Payment Bikin Premi Lebih Murah? Begini Penjelasan AAUI
Lebih menarik lagi, skema deductible yang disisipkan dalam produk seperti pro-saver atau pro-prime saver selama ini ternyata adalah bentuk lain dari co-payment. Artinya, nasabah Prudential sudah terbiasa berbagi sebagian biaya perawatan dengan perusahaan, bahkan sebelum diwajibkan regulator.
Namun, perubahan besar tetap akan datang. Semua produk yang belum memiliki unsur co-payment akan disesuaikan.
“Produk-produk yang belum ada co-payment, belum ada deductible atau belum ada pro-prime saver-nya akan kita tempelkan,” ucap Yosie.
Ia menegaskan bahwa Prudential sudah mengantisipasi ini sejak tahun lalu, saat meluncurkan fitur-fitur baru dan studi ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Regulasi dari OJK mewajibkan co-payment minimal 10 persen dari biaya perawatan atau maksimal Rp3 juta. Meski dianggap sebagai solusi untuk mengendalikan lonjakan biaya kesehatan, muncul pertanyaan baru, apakah premi akan turun?
“Kalau penyesuaian premium tentu nanti kita harus sesuaikan. Tapi jangan lupa, kenaikan biaya medis itu kan masih terus berlanjut. Medical inflation pun masih tinggi,” jawab Yosie.
Baca juga: MSIG Life Buka Suara soal Co-Payment, Ini Dampaknya ke Premi dan Klaim
Di sisi lain, co-payment bukan hanya soal angka. Ini adalah strategi sistemik untuk mendorong perubahan perilaku nasabah dan rumah sakit. Dengan adanya beban biaya yang dibagi, nasabah diharapkan lebih bijak dalam memilih layanan kesehatan.
“Harapan OJK tentu dengan adanya co-payment, nasabah bisa lebih bertanggung jawab. Sense of ownership-nya jadi muncul,” imbuhnya.
Yosie juga menyoroti isu overutilisasi atau penggunaan layanan medis berlebihan yang turut memperparah beban industri. Ia menghindari penggunaan istilah medical inflation secara sembarangan.
“Saya nggak mau bilang medical inflation itu peningkatan biaya kesehatan. Karena medical inflation dan biaya kesehatan itu berbeda,” pungkasnya. (*) Alfi Salima Puteri