Jakarta – Diterapkannya skema co-payment dalam produk asuransi kesehatan tambahan yang diatur dalam Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 menjadi perbincangan hangat. Banyak yang berharap dengan adanya co-payment, premi asuransi bisa lebih murah.
Namun, Wakil Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Bidang Teknik 3 (Asuransi Kendaraan Bermotor dan Kesehatan), Wayan Pariama menilai bahwa hal tersebut belum tentu terjadi. Skema co-payment ini artinya nasabah harus menanggung sebagian biaya perawatan, meskipun sudah memiliki asuransi tambahan.
Meski terlihat meringankan beban perusahaan asuransi, Wayan menjelaskan bahwa dampaknya terhadap premi masih harus dihitung secara aktuaria dan belum tentu langsung signifikan.
Baca juga: OJK: Sistem Co-Payment Tekan Fraud di Asuransi Kesehatan
“Kami sih memperkirakan mungkin bisa jadi 3–5 persen (selisihnya). Tapi kalau harus menyebut angka, ya kami juga nggak berani bilang bahwa ini cukup agresif,” ungkapnya dalam Konferensi Pers Kinerja Industri Asuransi Umum Kuartal I 2025 di Jakarta, Jumat (13/6).
Menurutnya, perbedaan harga premi akibat skema co-payment justru sangat bergantung pada perilaku nasabah. Jika tidak ada perubahan dalam pola pemanfaatan layanan kesehatan, maka potensi penghematan pun menjadi minim.
Wayan juga menegaskan meskipun ada skema baru, premi tidak otomatis turun karena penentuan harga tetap mengacu pada pengalaman klaim sebelumnya.
“Apakah preminya akan turun dari yang sekarang? Belum tentu juga. Karena premi sekarang ini kan tergantung dari profil yang sebelum-sebelumnya. Jadi kalau claim ratio sekarang juga udah tinggi, ya udah pasti naik,” ujarnya.
Baca juga: Pengamat Sebut Skema Co-Payment Tidak Rugikan Masyarakat, Ini Alasannya
Namun, ia meyakini bahwa dengan adanya co-payment, kenaikan premi bisa lebih terkendali dibandingkan jika tidak ada skema tersebut.
“Tapi dengan adanya co-payment, naiknya nggak setinggi pada saat ini,” tambahnya.
Dengan demikian, implementasi co-payment bukanlah jaminan premi asuransi kesehatan akan langsung turun. Kuncinya ada pada perubahan perilaku peserta asuransi.
Jika nasabah tetap memilih layanan mahal tanpa pertimbangan efisiensi, maka skema ini tidak akan banyak membantu menekan biaya asuransi. (*) Alfi Salima Puteri