Poin Penting
- Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi menegaskan tidak melakukan korupsi dan menyebut kasus yang menjeratnya sebagai bentuk kriminalisasi terhadap profesional BUMN.
- Akuisisi PT Jembatan Nusantara dinilai menguntungkan negara, karena ASDP memperoleh aset kapal senilai Rp2,09 triliun dengan harga Rp1,27 triliun.
- Ira membantah adanya persekongkolan dan pelanggaran GCG, serta menilai perhitungan kerugian negara tidak sah karena bukan berasal dari lembaga auditor resmi.
Jakarta - Eks Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi menyatakan dirinya bukan pelaku korupsi sebagaimana didakwakan, melainkan korban kriminalisasi terhadap profesional Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pernyataan itu disampaikan Ira dalam nota pembelaan (pleidoi) yang ia bacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 6 November 2025.
Ira menjalani persidangan bersama dua mantan direksi ASDP lainnya, yakni Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono. Ketiganya terjerat perkara dugaan korupsi akuisisi kapal milik PT Jembatan Nusantara (JN).
Dalam pembelaannya, Ira mengisahkan penahanannya bersama dua kolega sejak 13 Februari 2025, setelah ASDP melakukan akuisisi PT JN senilai Rp1,27 triliun. Mereka dituduh menyebabkan kerugian negara hingga Rp893 miliar, yang kemudian dinaikkan menjadi Rp1,25 triliun atau 98,5 persen dari nilai transaksi.
Menurutnya, hingga penahanan dilakukan, tidak pernah ada bukti korupsi yang ditunjukkan. Ia menyoroti laporan kerugian negara yang dibuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiga bulan setelah penahanan, tanpa dasar lembaga audit resmi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Laporan itu bukan dari BPK atau BPKP namun dari KPK sendiri tanggal 28 Mei 2025, atau tiga bulan setelah penahanan. Lalu apa dasar menahan saya selama ini?," ungkapnya.
Ira juga mengutip keterangan saksi ahli dari BPK yang menegaskan akuisisi telah dilakukan sesuai ketentuan.
Baca juga: Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi dkk Jalani Sidang Pleidoi Hari Ini
Ira pun menilai, perhitungan kerugian tersebut tidak sah karena dilakukan oleh auditor internal dan dosen konstruksi perkapalan tanpa sertifikasi penilai publik. Nilai kapal JN, lanjutnya, justru dihitung berdasarkan harga besi tua, padahal sebagian besar kapal masih layak berlayar dan produktif.
Sebagai contoh, paparnya, kapal Royal Nusantara berbobot 6.000 GT yang memiliki valuasi Rp121 miliar hanya dinilai Rp12,4 miliar. Padahal kapal tersebut masih beroperasi dan berkontribusi terhadap pendapatan perusahaan.
"Kapal Royal Nusantara ini 24 meter lebih panjang dari lapangan bola dan dapat memuat ratusan kendaraan. Apakah mungkin pemilik JN bersedia menjual saham perusahaan bila kapal-kapalnya dinilai dengan harga scrap atau besi tua kiloan, padahal kapal-kapalnya laik laut dan menghasilkan pendapatan," beber Ira.
Akuisisi Disebut Menguntungkan, Bukan Merugikan Negara
Dalam sidang itu, Ira menjelaskan bahwa akuisisi PT JN justru memberi nilai tambah bagi ASDP dan negara. Ia menyebut perusahaan memperoleh 53 kapal komersial berikut izin operasional dengan total aset Rp2,09 triliun, sedangkan harga akuisisinya hanya Rp1,27 triliun
"Dengan akuisisi ini, ASDP mendapat perusahaan utuh yang aset kapalnya saja bernilai Rp 2,092 triliun, namun perusahaan ini bisa dibeli seharga Rp 1,272 triliun atau hanya 60 persen dari nilai kapal. Secara nominal pun ASDP dan negara untung dari akuisisi ini," tegasnya.
Baca juga: Dukung Sektor Penyeberangan, Bank Mandiri Perkuat Kerja Sama Layanan Perbankan bagi ASDP
Ira menambahkan, langkah strategis ini penting untuk menjaga keberlanjutan layanan penyeberangan di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), yang sebagian besar bersifat perintis dan bergantung pada subsidi lintas dari kegiatan komersial.
Tolak Tuduhan Persekongkolan dan Perubahan Aturan
Menanggapi tudingan adanya persekongkolan dengan pihak JN, Ira membantah keras. Ia menyebut seluruh proses akuisisi dilakukan sesuai tata kelola perusahaan yang baik (GCG)
"Saya sulit berkata-kata ketika ada yang tega menarasikan seolah-olah saya korupsi memperkaya orang lain. Apakah ada orang yang memperkaya orang lain namun tidak memperkaya diri sendiri di dunia ini?," katanya.
Baca juga: Pastikan Keamanan Penumpang, Jasa Raharja dan ASDP Manfaatkan Aplikasi Ferizy
Ia juga menjelaskan, biaya operasional dalam kerja sama usaha (KSU) dengan JN tidak menggunakan dana ASDP, melainkan dari hasil penjualan tiket JN sendiri.
"Biaya operasi JN dibayar dari hasil penjualan tiket JN sendiri yang memakai sistem milik ASDP. Fasilitas Ecopay bank dipakai sebagai dana talangan dua bulan. Sisa usaha dibagi ASDP-JN. Kedua pihak pun diuntungkan dalam kerja sama ini sebagaimana prinsip kerja sama apa pun dalam bisnis," ujarnya.
Paparkan Capaian dan Transformasi ASDP
Dalam kesempatan yang sama, Ira memaparkan berbagai terobosan selama masa kepemimpinannya di ASDP, seperti digitalisasi layanan, peningkatan efisiensi, dan kemampuan perusahaan mencetak laba di tengah pandemi Covid-19.
ASDP disebut menjadi satu-satunya BUMN transportasi yang tetap mencatat keuntungan saat pandemi, bahkan meraih kinerja terbaik sepanjang sejarah pada 2023 setelah akuisisi JN.
"Terobosan itu terjadi karena saya didampingi tim kompeten dan memiliki filosofi kerja “for the best interest of the company”, melakukan semua untuk kepentingan terbaik perusahaan," tegasnya.
Baca juga: Kini Beli Tiket Kapal ASDP Bisa Lewat AgenBRILink
Menutup pleidoinya, Ira menyerukan agar praktik kriminalisasi terhadap profesional BUMN dihentikan. Ia menilai, banyak kasus serupa menimpa pimpinan perusahaan negara dan pejabat negara seperti RJ Lino di Pelindo, Nur Pamudji di PLN, Karen Agustiawan di Pertamina, Hotasi Nababan di Merpati hingga Tom Lembong di Kementerian Perdagangan.
"Saya tidak korupsi mengambil uang sepeser pun dalam akuisisi ini. Sampai sekarang juga tidak ada seorang pun yang sudah terbukti diperkaya karenanya," imbuhnya.
"Saya percaya kebeningan hati nurani Majelis Hakim akan mengantarkan kami pada keadilan dan kebenaran yang sebenar-benarnya," pungkasnya.
Jaksa Tuntut Hukuman 8,5 Tahun Bui
Dalam persidangan sebelumnya, jaksa menuntut Ira Puspadewi dengan hukuman 8 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan.
“Menuntut, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ira Puspadewi dengan pidana penjara selama 8 tahun dan 6 bulan dan denda sebesar Rp500 juta. Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan,” kata jaksa saat membacakan tuntutan pada 30 Oktober 2025.
Adapun dua terdakwa lainnya, Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, masing-masing dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan.
Baca juga: Eks Mendag Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun Bui dalam Kasus Korupsi Impor Gula
Jaksa menilai para terdakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dalam surat dakwaan, jaksa menyebut para terdakwa menyebabkan kerugian keuangan negara mencapai Rp1,25 triliun selama proses akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry tahun 2019 hingga 2022.
“Dengan rincian, nilai pembayaran saham akuisisi saham PT JN Rp892 miliar, pembayaran 11 kapal afiliasi PT JN Rp380 miliar, nilai bersih yang dibayarkan ASDP kepada Adjie dan perusahaan afiliasi Rp1,272 triliun,” ujar jaksa Wahyu Dwi Oktavianto dalam sidang 10 Juli 2025.
Baca juga: DPR Setujui Abolisi untuk Tom Lembong dan Amnesti 1.116 Terpidana Termasuk Hasto
Jaksa juga menilai para terdakwa mengubah surat keputusan direksi untuk mempermudah pelaksanaan KSU antara ASDP dan PT JN tanpa persetujuan dewan komisaris. “Tidak mempertimbangkan risiko pelaksanaan KSU dengan PT JN yang disusun VP Manajemen Risiko dan Quality Assurance,” tambahnya.
Dalam tuntutannya, jaksa menilai para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
“Para terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan,” ucap jaksa.
Namun, jaksa juga menyebutkan hal-hal yang meringankan, seperti bahwa para terdakwa belum pernah dihukum dan bersikap sopan selama persidangan. (*)










