Jakarta – Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute memperkirakan penerimaan pajak tahun ini berpotensi meleset dari target atau shortfall hingga Rp120-140 triliun pada akhir 2025. Hal ini mengingat kinerja penerimaan pajak yang masih negatif dari Januari hingga Mei 2025.
Direktur Eksekutif IEF Research Institute Ariawan Rahmat menilai, tekanan defisit fiskal dan perlambatan penerimaan negara tersebut akan mendorong pemerintah mengubah haluan kebijakan perpajakan dalam waktu dekat.
Apalagi hingga Mei 2025, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tercatat sebesar Rp21 triliun, sementara penerimaan pajak mengalami kontraksi sebesar 10,13 persen, setelah sebelumnya pada Februari 2025 turun drastis hingga 30,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Penurunan harga komoditas ekspor, pelemahan ekonomi, serta belum optimalnya sistem administrasi pajak (Coretax) pada awal tahun lalu turut memperparah tekanan terhadap pendapatan negara. Situasi ini akan memaksa pemerintah mempertimbangkan kebijakan yang lebih agresif di bidang perpajakan,” ujar Ariawan dikutip, Selasa, 24 Juni 2025.
Mengacu pada Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 dan UU No. 28 Tahun 2007, pemerintah memiliki ruang untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga 15 persen, memperluas basis pajak, serta memperketat pengawasan melalui pemeriksaan dan penagihan.
Dengan demikian, wacana kenaikan PPN ke 12 persen yang sempat tertunda, kini kembali relevan untuk ditinjau ulang oleh pemerintah. Namun demikian, Ariawan berharap pemerintah tidak terburu-buru menaikkan PPN dalam waktu dekat. Hal ini mempertimbangkan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih serta tekanan terhadap konsumsi domestik.
Sebagai alternatif, pemerintah dapat memperluas basis PPN melalui revisi atas negative list atau fokus memperketat pengawasan PPN atas transaksi daring dan sektor digital yang berisiko tinggi tidak tercatat (unrecorded economy).
“Strategi ini saya rasa lebih moderat dan tidak memukul konsumsi secara langsung,” tutur Ariawan.
Baca juga: Penerimaan Pajak Mei 2025 Masih Terkontraksi 10,14 Persen Jadi Rp683,3 Triliun
Selain isu PPN, insentif perpajakan bagi UMKM dalam skema PPh Final 0,5 persen (PP No. 23 Tahun 2018) saat ini tengah menunggu keputusan perpanjangan.
Menurut Ariawan, jika insentif ini dihentikan atau diubah, maka jutaan pelaku usaha kecil akan menghadapi peningkatan beban administrasi dan fiskal.
“Kebijakan ini sebaiknya diperpanjang minimal selama dua tahun ke depan. Alasannya, masih banyak UMKM saat ini terkena dampak langsung dari pelemahan permintaan,” tegasnya.
Kemudian, banyak pelaku UMKM belum memiliki kapasitas pembukuan formal jika skema final dihapus dan diganti dengan tarif progresif umum. Menurutnya, skema kebijakan yang ada saat ini telah terbukti mampu memperluas kepatuhan pajak berbasis kesederhanaan (low cost compliance).
“Dalam jangka menengah, reformasi skema PPh UMKM perlu dirancang secara bertahap, termasuk edukasi pembukuan dan transisi sistem self-assessment berbasis omzet atau margin usaha, bukan tarif tunggal,” usul Ariawan.