Penempatan Rp200 T ke Bank Bisa Tingkatkan Kredit 11 Persen, Namun Ada Syaratnya

Penempatan Rp200 T ke Bank Bisa Tingkatkan Kredit 11 Persen, Namun Ada Syaratnya

Jakarta - Pemerintah resmi menempatkan dana Rp200 triliun dari kas negara di Bank Indonesia (BI) ke lima bank Himbara, Jumat, 12 September 2025.

Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan, penempatan dana tersebut ditujukan untuk menggenjot penyaluran kredit perbankan ke masyarakat, yang diharapkan dapat menggerakkan roda perekonomian.

Terkait hal ini, Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede mengungkapkan jika kebijakan penempatan dana ini memang memiliki potensi untuk meggenjot penyaluran kredit dan menggerakkan roda perekonomian.

Secara bingkai regulasi, program ini telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 tentang Penempatan Uang Negara dalam Rangka Pengelolaan Kelebihan dan Kekurangan Kas untuk Mendukung Pelaksanaan Program Pemerintah dan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang baru diteken Menteri Keuangan pada hari ini.

Berdasarkan KMK tersebut, penempatan bertahap di lima bank milik negara, wajib digunakan untuk mendorong sektor riil, dilarang untuk membeli surat berharga pemerintah, berbentuk deposito on call dengan tenor awal enam bulan yang dapat diperpanjang, disertai formula imbal hasil berbasis suku kebijakan, kewajiban pelaporan bulanan, serta penerapan pagar pengawasan dan mekanisme debit langsung pada giro wajib minimum untuk memitigasi risiko gagal pengembalian.

“Peraturan ini memberi kejelasan terkait sasaran dan tata kelola, sehingga menekan risiko penyimpangan fungsi dana. Di lain sisi, secara mekanisme, tambahan likuiditas ini memperbesar ruang perbankan untuk menyalurkan pembiayaan,” cetus Josua kepada Infobank, Jumat, 12 September 2025.

Baca juga: OJK Awasi Ketat Pengelolaan Duit Negara Rp200 Triliun di 5 Bank Himbara

Bila tepat sasaran, ia katakan, program ini dapat meningkatkan dana pihak ketiga sekitar 1,7 persen, mengangkat pertumbuhan kredit sekitar 0,8 sampai 1,4 persen menuju kisaran 10 sampai 11 persen secara tahunan, serta memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi sekitar 0,3 sampai 0,6 persen.

“Dengan efek ke inflasi yang tergolong terbatas sekitar 0,3 sampai 0,5 persen, bila penyalurannya tepat sasaran,” sambung Josua.

Pemerintah juga menyiapkan pendanaan untuk program koperasi desa dan mempercepat belanja prioritas, sementara penggunaan dana oleh bank untuk instrumen keuangan pasif dibatasi agar arus kredit mengalir ke kegiatan produktif.


Selain itu, kondisi penawaran kredit saat ini relatif mendukung. Suku bunga dasar kredit cenderung menurun karena bank menjaga daya saing di pasar kredit, biaya dana relatif tertahan, dan bank memangkas margin untuk mendorong penyaluran.

Baca juga: Rp16 Triliun Dana APBN Siap Disalurkan Himbara ke Kopdes Merah Putih

Dari sisi kebijakan, insentif likuiditas makroprudensial menurunkan tingkat bunga pada sejumlah sektor prioritas, sehingga biaya kredit pada sektor perdagangan, pertanian, industri pengolahan, konstruksi, transportasi, pariwisata, dan kegiatan hijau lebih kompetitif.

“Koordinasi fiskal dan moneter juga diperkuat melalui pembagian beban bunga untuk program perumahan rakyat dan koperasi desa, serta pelebaran ruang likuiditas oleh bank sentral, sehingga dorongan fiskal tidak menekan stabilitas,” jelasnya lagi.

Meskipun cukup efektif sebagai pendorong ekspansi kredit dan penggerak kegiatan ekonomi, Josua menegaskan, keberhasilan kebijakan penempatan dana di bank ini sangat bergantung pada desain eksekusi dan penguatan sisi permintaan di masyarakat.

“Data likuiditas dan uang beredar menunjukkan ruang peningkatan likuiditas masih ada, namun pertumbuhan kredit agregat melambat dibanding tahun lalu, sehingga menandakan kehati-hatian dunia usaha dan rumah tangga di tengah daya beli yang belum pulih sepenuhnya,” terang Josua.

Ia menjelaskan, rata-rata suku bunga kredit dan simpanan cenderung menurun, basis uang yang disesuaikan tetap tumbuh, tetapi tanpa perbaikan permintaan, tambahan likuiditas rawan hanya berputar di sistem keuangan dan kurang berdampak pada produksi serta konsumsi.

Syarat Efektivitas

Dengan demikian, efektivitas kebijakan ini akan meningkat jika memenuhi beberapa syarat. Pertama, penyaluran kredit harus benar-benar menambah kredit baru pada sektor berpengganda tinggi dan padat karya, bukan menggantikan pembiayaan yang sudah berjalan.

Kedua, harga kredit perlu dijaga tetap terjangkau melalui kombinasi insentif likuiditas, pembagian beban bunga pada program tertentu, serta skema penjaminan dan bagi risiko untuk UMKM dan proyek bernilai tambah menengah, agar bank tidak menahan penyaluran karena kekhawatiran kualitas.


Ketiga, percepatan belanja pemerintah yang langsung menyentuh konsumsi dasar dan proyek kecil-menengah akan memperkuat permintaan sehingga kredit yang disalurkan memiliki pasar.

“Keempat, disiplin tata kelola harus dijaga ketat agar kepercayaan investor tidak terganggu, karena kredibilitas yang menurun berisiko memicu arus keluar modal dan menekan nilai tukar,” sebutnya.

Baca juga: Himbara Dapat Suntikan “Dana Segar” Rp200 Triliun, Celios Wanti-wanti Risiko Inflasi

Dorongan Sisi Permintaan

Sementara itu, secara lebih rinci, Josua membeberkan beberapa langkah yang perlu diambil pemerintah untuk meningkatkan sisi permintaan atau konsumsi masyarakat. Pertama, percepat belanja padat karya dan serapan ke UMKM.

“Lakukan front-loading belanja barang dan bantuan sosial tepat sasaran agar pendapatan kelompok bawah-menengah naik cepat. Fokus pada proyek kecil-menengah padat karya,” paparnya.

Kedua, perkuat daya beli rumah tangga dengan intervensi cepat, terarah, dan sementara melalui beberapa opsi seperti: top up bantuan pangan, subsidi transportasi atau logistik pangan di wilayah rentan, serta diskon tarif layanan publik yang efisien.

Ketiga, dorong permintaan dunia usaha lewat insentif dan kepastian pembayaran, antara lain mempercepat pelunasan tagihan dan restitusi, naikkan porsi pengadaan dari UMKM, dan arahkan kredit ke sektor prioritas yang sudah memiliki bunga lebih kompetitif seperti transportasi, pariwisata, ekonomi kreatif, konstruksi, dan hijau.

“Keempat, tekan biaya pembelian barang tahan lama dan perumahan sederhana. Sediakan insentif fiskal terukur untuk perumahan rakyat dan kendaraan produktif, sambil meneruskan tren penurunan suku bunga kredit baru agar keputusan belanja yang tertunda segera terjadi,” ujar Josua.

Dan kelima, longgarkan pembiayaan ke segmen UMKM lewat perluasan penjaminan kredit dan sediakan skema khusus UMKM, disertai penempatan dana yang bersyarat target penyaluran per sektor dan wilayah, sehingga premi risiko turun, bunga efektif lebih rendah, dan permintaan kredit UMKM meningkat.

Baca juga: UMKM Didorong Bangun Kemitraan Lokal Agar Tembus Pasar Ritel Modern

Pada akhirnya, kebijakan penempatan dana ini cukup efektif sebagai pendorong perekonomian. Namun, untuk menghasilkan lonjakan nyata pada kredit dan pertumbuhan di tengah daya beli yang melemah, kebijakan ini harus dipadukan dengan penguatan sisi permintaan perekonomian dan disiplin sasaran yang ketat.

“Indikator perbankan yang masih sehat dan likuid memberi modal awal yang baik untuk eksekusi, tetapi hasil akhirnya akan ditentukan oleh seberapa cepat dan tepat dana ini bekerja di sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dan menaikkan pendapatan rumah tangga,” tukas Josua. (*) Steven Widjaja

Halaman123

Related Posts

News Update

Netizen +62