Kontribusi LKM Masih Minim, OJK Beberkan Penyebabnya

Kontribusi LKM Masih Minim, OJK Beberkan Penyebabnya

Jakarta – Kontribusi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terhadap perekonomian Indonesia tak bisa dianggap sepele. UMKM berkontribusi terhadap 61 persen PDB Indonesia, di mana usaha mikro berkontribusi atas 37,4 persen PDB.

Tak hanya kontribusi PDB, sektor UMKM turut berkontribusi besar bagi penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Sektor UMKM mencatatkan 97 persen penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

Meskipun demikian, sektor UMKM yang terkenal dekat dengan masyarakat kelas bawah ini, seolah belum mampu menepis tingkat kemiskinan di Indonesia. Ini bisa dilihat dari masih besarnya tingkat kemiskinan nasional yaitu 16 persen, 79,7 persen masyarakat Indonesia berpenghasilan di bawah USD10, serta ditambah tingginya kesenjangan sosial yang direpresentasikan oleh Gini Index dan Theil Index yang masing-masing sebesar 38,31 persen dan 28,22 persen.

Tingginya kesenjangan sosial tentunya berpotensi menghambat Indonesia dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, yang bebas dari kemiskinan dan menciptakan kesetaraan.

Merespons fakta yang ada, Pengawas Bidang Pengawasan Perbankan Departemen Pengawasan Konglomerasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wahyu Adhi Nugroho mengingatkan betapa pentingnya UMKM, terlebih lembaga keuangan mikro (LKM) yang adalah produk pembiayaan dan simpanan kepada masyarakat berpenghasilan rendah, untuk menjawab tantangan sosial dalam pembangunan berkelanjutan.

Baca juga: OJK Beberkan Tantangan Penerapan ESG di Sektor Jasa Keuangan

Ia mengatakan bila negara berkembang seperti Bangladesh dapat menjadi bukti, dimana LKM berkontribusi pada penurunan angka kemiskinan.

“Tingginya portofolio pinjaman dari LKM berdampak signifikan bagi rasio angka kemiskinan yang lebih rendah dan tingkat pengeluaran konsumsi yang lebih tinggi,” ucapnya dalam acara bedah buku “Diorama Keuangan Berkelanjutan Indonesia” secara virtual, Selasa, 3 Juni 2025.

Implementasi keuangan mikro di Indonesia sendiri masih menghadapi sejumlah tantangan. Pada 2022, jumlah pembiayaan kepada usaha mikro dari sektor perbankan mencapai Rp532 triliun, lalu dari sektor industri keuangan nonbank mencapai Rp104 triliun. Angka tersebut masih jauh dari angka total kredit perbankan yang mencapai Rp6.423 triliun.

Menurut Wahyu, ada beberapa hal yang membuat rendahnya penyaluran kredit dari lembaga keuangan ke sektor mikro. Pertama, tingginya biaya yang berkaitan dengan pembiayaan mikro. Transaction cost yang tinggi ini disebabkan oleh karakteristik pembiayaan dari LKM. Yang mana, LKM harus menanggung tingginya biaya untuk mengelola risiko yang tinggi.

“Karena risiko yang harus ditanggung dari LKM sangat tinggi, sehingga lembaga keuangan harus menerapkan beban bunga yang cukup tinggi kepada pinjaman mikro. Sumber pendanaan bagi lembaga keuangan mikro nonbank yang berasal dari pinjaman juga cukup tinggi,” sebutnya.

Kedua, adanya tingkat persaingan dan kejenuhan pasar. Kondisi demikian dipicu oleh banyaknya lembaga keuangan yang menawarkan pembiayaan mikro. Selain itu, lembaga-lembaga keuangan mikro juga tidak memiliki diferensiasi produk dengan target pasar yang serupa, serta tidak adanya batas kewenangan dan cakupan wilayah. Ini pada akhirnya memicu risiko overlending terhadap usaha mikro.

Ketiga adalah tantangan terkait literasi dan akses keuangan, serta pembinaan dan pengawasan. Kurangnya pemahaman terhadap produk dan layanan yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan, serta kurangnya pemahaman dari usaha mikro sendiri terhadap proses produksi, pemasaran, dan pengembangan usaha, membuat usaha mikro kesulitan untuk berkembang.

Wahyu mengatakan, untuk menangani tantangan-tantangan yang ada, diperlukan target pasar baru seperti segmentasi pembiayaan dan tahapan implementasi, serta peningkatan penggunaan teknologi, terlebih di daerah terpencil. Pelatihan dan literasi keuangan yang berkesinambungan bagi pelaku usaha mikro juga perlu menjadi perhatian bersama.

Baca juga: BEI Dorong UMKM Melantai di Bursa, Ini Keuntungannya!

Pemerintah dan otoritas terkait lainnya, bisa memberikan dukungan dengan orientasi penguatan kapasitas bisnis LKM. Seraya diiringi dengan dukungan kebijakan yang supportif.

Tak lupa, ia menegaskan perlunya dukungan kebijakan yang kuat dari pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten dalam menopang LKM dan usaha mikro lainnya. Mengingat, adanya hubungan struktural dan fungsional yang kuat di antara kedua instansi pemerintah daerah itu dengan lembaga keuangan yang terlibat.

“Dengan adanya kolaborasi dari para stakeholder seperti pemerintah, lembaga keuangan, masyarakat, itu dapat memastikan keuangan mikro dan usaha mikro untuk terus memberikan manfaat yang signifikan bagi tujuan pengembangan berkelanjutan di Indonesia,” tegas Wahyu. (*) Steven Widjaja

Related Posts

News Update

Netizen +62