Jakarta – Konsep environmental, social, and governance (ESG) dalam kerangka pembangunan berkelanjutan terus gencar disuarakan dan diimplementasikan. Publik kian sadar atas pentingnya pembangunan berkelanjutan pada segala sektor dalam menopang pengembangan bisnis yang turut memperhatikan aspek kelangsungan lingkungan dan sosial.
Meskipun begitu, pada praktiknya, masih ditemukan banyak kendala dalam penerapan ESG. Misalnya, untuk Indonesia sendiri, peringkat atau indeks Sustainable Development Goals (SDGs) terpantau mengalami tren fluktuatif dalam beberapa waktu belakangan.
Di 2019, Indonesia menempati posisi ke-102 pada Index SDGs. Peringkat Indonesia pada Index SDGs lalu naik ke posisi 75 di 2023, dan kembali turun ke posisi 78 di 2024.
Pengawas Dana Pensiun Direktorat Pengawasan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sabrina Septiani menjelaskan ada banyak “pekerjaan rumah” yang memicu turunnya peringkat ESG Indonesia itu.
“Antara lain kesenjangan sosial, tidak meratanya perekonomian, ketidaksetaraan pendidikan, gap antara profesional pria dan wanita, tingkat kemiskinan yang besar, serta lingkungan hidup yang perlu diperbaiki di berbagai sisi,” sebutnya dalam acara bedah buku “Diorama Keuangan Berkelanjutan Indonesia” secara virtual, Selasa, 3 Juni 2025.
Baca juga: Akselerasi ESG Bank Mandiri: Portofolio Berkelanjutan Naik, Inklusi Keuangan Meluas
Lebih lanjut, Sabrina menerangkan beberapa tantangan yang dialami sejumlah negara di dunia dalam menerapkan pembangunan berkelanjutan. Salah satunya adalah Singapura. Negara dengan luas 750 kilometer persegi ini sempat mengalami kendala dalam menyediakan air bersih kepada warganya.
“Dulu Singapura hanya bisa memenuhi kebutuhan air dari dalam negeri sebesar 5 persen. Yang mana sisanya adalah impor,” imbuh Sabrina.
Namun, seiring berjalannya waktu, Singapura dapat memenuhi kebutuhan airnya sebesar 60 persen dari dalam negeri, dan 40 persen adalah hasil impor dari Malaysia. Ini bisa tercapai setelah Singapura melakukan inovasi dengan menyaring air laut untuk dijadikan air bersih dan membuat danau buatan.
Tantangan lainnya yang masih dialami Singapura, yakni rendahnya tingkat fertilitas, keterbatasan lahan, ketergantungan impor, sampah yang besar, serta bahaya karbon.
Sementara itu, Jepang menghadapi tantangan yang kurang lebih sama, yaitu tingginya emisi karbon, aging population, kurangnya pengetahuan atas ESG di sektor UKM, dan polusi udara.
Hal serupa juga ditemukan di Indonesia. Di mana, polusi udara dan sampah serta rendahnya tingkat kemerataan pengetahuan terkait ESG masih menjadi kendala utama, di samping rendahnya pemanfaatan energi terbarukan dan gelombang perubahan iklim.
Di Benua Biru ada Inggris dan Jerman, di mana Inggris menghadapi masalah krisis energi serta kesenjangan sosial dan kemiskinan. Sedangkan Jerman menghadapi masalah rendahnya populasi pekerja akibat sedikitnya penduduk serta peningkatan mortalitas akibat penyakit kronis seperti jantung, diabetes, dan kanker.
Dengan segala tantangan yang ada, Indonesia tak tinggal diam. Salah satu langkah yang diambil pemerintah Indonesia adalah melalui BPJS Ketenagakerjaan.
Sabrina menjelaskan lembaga jaminan sosial dan dana pensiun milik Indonesia ini telah mengimplementasikan prinsip tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis dan layanannya sejak 2014.
Penerapan ESG oleh BPJS Ketenagakerjaan kemudian semakin gencar dilakukan pasca diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi lembaga jasa Keuangan, emiten, dan perusahaan publik.
Implementasi ESG di BPJS Ketenagakerjaan mencakup penerapan tata kelola, peningkatan SDM, efisiensi konsumsi energi, pengurangan limbah, sertifikasi green building, dan inovasi teknologi atau digitalisasi.
Di samping itu, penyajian laporan keuangan turut mengacu pada Global Reporting Index (GRI) yang mengedepankan kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial, dimana di dalamnya ada aspek tata kelola perusahaan.
Baca juga: Riset OJK: ESG Hanya Sekadar Reputasi, Bukan Pendulang Profit Perusahaan
“Kemudian, untuk dana pensiun lainnya baru diterapkan di 2025. Sehingga, di November 2024, lembaga dana pensiun lainnya telah menyusun Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB),” ucap Sabrina.
Selain itu, Indonesia juga tercatat telah memiliki beberapa instrumen investasi berkonsep ESG, yaitu Obligasi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan (Green Bond) Bank Mandiri, green sukuk ritel seri ST006 (e-SBN), green loan PLN untuk membiayai dua proyek PLTA dan lima proyek PLTP, serta IDX ESG Leaders dan Indeks SRI-KEHATI.
“Dampak dari keuangan berkelanjutan tentunya tak bisa dilihat dalam waktu instan. Membutuhkan proses, namun saya yakin hal kecil yang dilakukan secara konsisten akan berdampak pada masa kini dan mendatang,” tukasnya. (*) Steven Widjaja