Jakarta – Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi memperingatkan bahaya dari menurunnya jumlah kelas menengah di Indonesia yang terjadi beberapa tahun terakhir.
Ia memaparkan bahwa kelas menengah memiliki dampak yang besar terhadap perekonomian nasional. Kelompok ini merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“71 persen pertumbuhan ekonomi datang dari kelompok kelas menengah ini. Kalau turun itu bahaya buat ekonomi,” katanya saat konferensi pers DBS Asian Insights 2025 di Jakarta, Rabu, 21 Mei 2025.
Baca juga: Pengamat Wanti-wanti Risiko Kredit Macet Kopdes Merah Putih
Dari ranah ekonomi, pengaruh kelas menengah juga meluas ke ranah politik. Burhanuddin mencontohkan kejadian di Chile dan Bangladesh, di mana kelompok ini berperan dalam perubahan politik signifikan.
Chile, salah satu negara dengan kinerja ekonomi terbaik di Amerika Latin, mengalami penurunan tingkat kemiskinan dari 53 persen pada 1987 menjadi hanya 6 persen di 2017. Namun pada 2019, negara tersebut hampir mengalami revolusi akibat kemarahan kelas menengah.
“Tapi di 2019, mereka suffer akibat revolusi yang hampir menumbangkan pemerintahannya. Gara-gara apa? Gara-gara kelas menengah. Jadi, ada kenaikan public transport cuma berapa persen, rakyat (menengah) marah,” cetus Burhanuddin.
Hal ini terjadi karena kelas menengah di Chile jarang mendapatkan perhatian dari pemerintah, yang lebih fokus pada bantuan untuk kelompok menengah bawah.
“Tapi hanya sedikit yang dialokasikan ke kelas menengah. Itu bahaya,” tambahnya.
Baca juga: Pengamat Sebut Waskita Karya Jauh dari Potensi Delisting, Ini Alasannya
Burhanuddin juga menyinggung kasus di Bangladesh pada 2024. Meski partai mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina memenangkan 88 persen kursi parlemen dan berhasil meningkatkan income per capita, pemerintahannya justru digulingkan oleh kelas menengah.
Kebijakan affirmative action sebesar 30 persen untuk keluarga pejuang kemerdekaan yang berasal dari partai penguasa memicu kemarahan mahasiswa.
“Dan itu membuat mahasiswa marah. Karena mereka merasa PNS itu adalah jatah mahasiswa, kenapa dibagikan buat keluarga pejuang kemerdekaan yang notabene dari partai Hasina,” jelasnya.
Baca juga: Presiden Prabowo Ultimatum Pejabat: Sederhanakan Regulasi atau Dicopot
Burhanuddin menilai, situasi Indonesia saat ini agak berbeda. Presiden Prabowo Subianto dinilai masih menunjukkan keinginan untuk mendengar aspirasi rakyat.
Ia mencontohkan respons cepat pemerintah terhadap isu efisiensi pendidikan yang berdampak pada UKT. Setelah pernyataan seorang mantan menteri pendidikan menuai kritik, yang bersangkutan langsung dicopot.
“Dan itu punya dampak besar. Kenapa? Karena kalau dibiarkan, demo-demo mahasiswa akan terjadi di mana-mana. Namun, lagi-lagi, kebijakan ekonomi pemerintah untuk kelas menengah itu masih superficial,” jelas Burhanuddin.
Baca juga: RI-China Sepakati Kerja Sama Ekonomi, Industri, hingga Media lewat 12 MoU, Ini Rinciannya
Burhanuddin menegaskan bahwa akar masalah kelas menengah di Indonesia belum ditangani secara menyeluruh. Meningkatnya kualitas pendidikan menciptakan kelas menengah baru, namun sektor manufaktur yang melemah menyebabkan penyerapan tenaga kerja formal menurun.
“Kalau ini tak diselesaikan, akan menciptakan banyak pengangguran terdidik. Dan itu adalah akar dari ketidakpuasan politik,” pungkas Burhanuddin. (*) Steven Widjaja