Bahlil mengatakan, hal ini sangat berbeda dengan industri dan usaha besar di Jepang dan negara-negara maju. Industri besar di sana selalu ditopang oleh UKM-UKM yang ikut memasok dan menjadi mata rantai usaha di negera-negara itu. “Tidak usah jauh-jauh, lihat saja perusahaan-perusahaan Jepang di Cikarang sana. Di sekelilingnya langsung tumbuh UKM-UKM bonafid, pemiliknya beda-beda. Mereka kompak menjadi pemasok. Kalau di Indonesia, konglomerasi dan industri dikuasai dari A sampai Z,” imbuh Bahlil.
Hal ini pula, lanjut Bahlil, yang membuat harga yang jatuh ke tangan konsumen di Indonesia tidak rasional. Monopoli ini juga membuat daya saing usaha di Indonesia menurun atau bahkan sulit meningkat dan membuat biaya ekonomi meningkat pula.
“Suplaiernya dia-dia juga, tidak ada persaingan untuk dia bisa dapat bahan baku yang lebih bagus. Sementara, di pasar dia tentukan harga, sebab dia lakukan kartel dengan pesaing,” ujar Bahlil.
Sebab itu, Hipmi mendukung penuh penguatan KPPU. “Investasi memang harus jalan, tapi praktik usaha yang sehat serta pemberdayaan UKM juga harus jalan,” ujar Bahlil.
(Baca juga : Agar UMKM Indonesia Lebih Hebat)
Sebagaimana diketahui DPR tengah menggodok kemungkinan melakukan revisi terhadap UU Persaingan Usaha. Bahkan DPR telah membentuk Panitia Kerja Harmonisasi RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Beberapa poin perubahan dalam UU tersebut yakni KPPU dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan, Keputusan KPPU bersifat final dan mengikat, formula denda menjadi 30% dari penjualan, kewenangan KPPU untuk menindak pelaku usaha di luar negeri, dan perubahan rezim nofikasi merger dan akuisisi.(*)