Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
PEMERINTAH telah mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Pemerintah memutuskan, PPN 12 persen hanya untuk barang mewah. Namun, kenapa top up uang elektronik atau e-money terkena dampak dari kebijakan tersebut. Selama ini, banyak yang tidak tahu kalau transaksi uang elektronik kena “palak” pajak 11 persen. Tidak semua paham kalau sejak 2022 biaya transaksi uang elektronik dikenai pajak, dan kini beberapa merchant baru ngeh jika mereka terkena pajak.
Pertanyaan menariknya, justru saat simpang siur PPN 12 persen, masyarakat baru sadar bahwa merchant itu kena biaya dan kena pajak. Sebelumnya tidak paham. Sosialisasi dari pemerintah hanyalah soal kemudahan dan kehebatan transaksi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), yang bisa untuk transaksi di mana-mana. Menurut catatan Infobank Institute, QRIS memang berhasil dan berkembang secara masif di pelosok negeri dan juga di beberapa negara ASEAN.
Adalah Bank Indonesia (BI) yang sangat berperan besar dalam keberhasilan menggerakkan masyarakat untuk menggunakan QRIS. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di sebagian negara ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Bahkan, Jepang dan Korea Selatan. Belanja dengan QRIS lebih mudah.
Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), jumlah merchant QRIS per akhir September 2024 mencapai 34,23 juta atau mengalami pertumbuhan 17,85 persen dibandingkan dengan akhir September 2023. Jika dibandingkan dengan posisi akhir 2023 tumbuh 12,55 persen. Jumlah pengguna QRIS juga “melompat”. Akhir September 2024 mencapai 53,30 juta pengguna. Atau, tumbuh 27,4 persen dibandingkan dengan posisi September 2023.
Hal yang sama juga terjadi pada uang elektronik. Per akhir September 2024, jumlah uang elektronik beredar mencapai 894 juta atau tumbuh 14,15 persen dibandingkan dengan posisi akhir September 2023, dan 10,35 persen jika dibandingkan dengan posisi akhir Desember 2023. Total volume transaksi uang elektronik pada Januari-September 2024 mencapai 15,6 miliar transaksi atau naik 1,23 persen dibandingkan dengan Januari-September 2023.
Baca juga: Berikut Daftar Barang Mewah yang Kena PPN 12 Persen
Kendati demikian, ada beberapa catatan yang setidaknya perlu menjadi perhatian semua. Misalnya, cukup banyak merchant yang mengaku sebagai usaha mikro. Bank, fintech, dan acquirer harusnya dapat melakukan know your merchant – apakah usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, atau usaha besar. Ini penting karena menyangkut biaya yang berbeda-beda.
Bahkan, ada bank atau fintech yang saat rekrut merchant menawarkan akan memasukkan ke kelas merchant mikro. Tapi, merchant tersebut di-charge terpisah oleh bank, fintech ataupun acquirer. Plus ada beberapa merchant agregator yang izinnya perlu diperjelas, tapi bisa menjadi bunglon sehingga bisa berfungsi macam-macam, seperti acquiring, switching, dan remittance.
Nah, merchant agregator ini membantu fintech, bank, dalam merekrut merchant tanpa melihat kelas merchant, dan banyak dimasukkan ke kelas usaha mikro sehingga gratis. Jujur, yang harus “disemprit” adalah mereka yang memasukkan merchant ke kelas mikro sehingga tidak membayar fee. Ramai-ramai menjadi kelas mikro, atau paling banter usaha kecil.
Kembali ke soal kenaikan PPN menjadi 12 persen untuk barang mewah, dan pajak biaya merchant 11 persen. Atau, PPN hanya dikenakan atas merchant discount rate (MDR) yang dipungut oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) kepada pemilik merchant. Bukan pada transaksi dengan QRIS. Misalnya, Si Samin membeli lemari es dengan QRIS seharga Rp5 juta, plus PPN 11 persen (Rp550.000), maka Si Samin tetap membayar Rp5.500.000 dan tak ada tambahan, meski menggunakan QRIS.
Jujur saja, tidak akan banyak memberi masukan uang ke kas negara jika merchant QRIS-nya kelas usaha mikro. Sebab, transaksi usaha mikro tarifnya 0 persen. Nah, baru kena 0,3 persen jika transaksinya di atas Rp500.000. Tapi, untuk usaha kecil, menengah, dan besar kena biaya 0,7 persen. Untuk jasa pendidikan, ada tarif khusus. Terkena 0,6 persen. Sementara, SPBU terkena 0,4 persen.
Harus diakui, di tengah literasi keuangan yang masih dangkal, literasi digital masyarakat kita juga masih cetek. Moga kesalahpahaman sebagian masyarakat mengenai pengenaan PPN pada transaksi QRIS ini bisa menjadi titik balik bagi pengembangan transaksi digital yang sudah berkembang. Jangan sampai, masyarakat salah paham, sehingga mulai enggan menggunakan transaksi dengan QRIS karena takut kena pajak. Padahal, sejatinya tidak kena pajak. Yang kena biaya adalah merchant-nya dan kena pajak yang menikmati pungutan itu.
Transaksi uang elektronik bukan barang mewah, tapi kenapa pengisian uang elektronik kena pajak 11 persen. Problem utama pemerintah sekarang ini ialah menyangkut komunikasi atau sosialisasi. Jangan sampai, gara-gara simpang siur tentang QRIS, atau biaya uang elektronik kena pajak, hal itu akan menghentikan pertumbuhan merchant kelas kecil, menengah, dan besar yang sudah kena “palak” pajak.
Baca juga: BI Uji Coba Penerapan QRIS Tap Berbasis NFC untuk Pembayaran Lebih Cepat dan Praktis
Dan, jangan sampai pula, “hantu” PPN bagi transaksi QRIS atau uang elektronik ini akan memukul balik dan membuat masyarakat menjadi takut menggunakan QRIS atau uang elektronik. Jangan salah paham. Jujur, harus diakui, pemerintah sendiri juga tidak satu suara terkait soal pajak bagi QRIS ini, seperti pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan pihak Direktorat Jenderal Pajak yang tak sama. Walaupun pada akhirnya, tepat 31 Desember 2024, pemerintah mengumumkan bahwa PPN 12 persen tetap berlaku. Tapi, katanya, hanya untuk barang mewah. Yang lainnya tetap kena pajak 11 persen.
Jangan sampai, gara-gara perdebatan soal PPN untuk QRIS ini – meski tetap 11 persen untuk uang elektronik, top up, dan merchant – lalu kita kembali ke model transaksi “zaman batu” atau kembali memakai uang tunai untuk transaksi. Oh, ternyata transaksi QRIS ada pajaknya. Selama ini sebagian masyarakat tidak memahami.
Jangan salah melakukan sosialisasi atau komunikasi kalau tidak ingin melihat masyarakat ramai-ramai menolak menggunakan QRIS. Jangan sampai perdebatan tentang pajak pada biaya merchant ini menjadi “hantu” baru, yang dapat mengganggu kehebatan transaksi QRIS dan uang elektronik.
Komunikasi yang dibangun pemerintah terkait soal pajak ini perlu diperbaiki. Ternyata, sulit juga. Kalau sekadar omon-omon, semua juga bisa. (*)