Ekonomi antara Teori dan Praktik, Setelah “Beyond” Ekonomi Donald Trump

Ekonomi antara Teori dan Praktik, Setelah “Beyond” Ekonomi Donald Trump

Oleh: Prasetijono Widjojo MJ, Pengamat Ekonomi

RASA prihatin tergores dalam hati ketika mendengar Menteri Keuangan mengatakan bahwa ilmu ekonomi sudah tidak berguna terutama merespons apa yang dilakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, dengan slogannya America First. Kegalauan yang tentunya harus menjadi keprihatinan semua para ekonom, apakah benar demikian?

Apakah kondisi begitu parahnya sampai ilmu yang dikembangkan ratusan tahun itu sama sekali tidak berguna. Kegalauan yang harus direspons dengan sikap yang bijak dan arif karena kita bicara soal kelangsungan hidup bangsa, soal pembangunan peradaban, soal menjalankan penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Pernyataan Menteri Keuangan adalah “wake up call” kepada seluruh ekonom untuk bersama-sama ikut memikirkan solusi yang terbaik bagai negara dan bangsa.

Trump sebenarnya sudah bicara beyond ilmu ekonomi tetapi lebih kepada praktik politik yang didasari oleh ilmu ekonomi. Trump sedang bicara dalam konteks politik dan perubahan kekuatan dalam geo-politik dunia. Siapa bilang bahwa suatu keputusan ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak bukan keputusan politik? Pak Mar’ie Muhammad pernah mengatakan bahwa semua keputusan ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah keputusan politik. Merespons langkah yang dilakukan Trump adalah bicara soal langkah politik.

Baca juga: Ibu SMI, Masak Lupa Teori Ekonomi, Sih?

Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa sebagai kerangka kerja kita mempunyai Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Politik-Ekonomi-Budaya tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam pembangunan bangsa, dalam pembangunan peradaban. Politik tanpa budaya akan mengarah kepada demokrasi untuk kekuasaan, dan memungkinkan terjadinya diktator mayoritas atau tirani minoritas. Sulit untuk mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, kecuali mempunyai pemimpin (leadership) yang adil dan bijaksana.

Kepemimpinan yang memikirkan masih seluruh rakyat. Ekonomi tanpa budaya dapat menjurus kepada keserakahan (greedy) dan juga malpraktik pembangunan yang menguntungkan diri sendiri, kelompok, ataupun golongan. Ekonomi-Politik-Budaya merupakan telu-teluning atunggal (tiga hal yang menjadi satu kebulatan). Ilmu ekonomi tetap berguna dan bermanfaat sejauh politiknya untuk kepentingan seluruh rakyat dan dengan menjaga budaya yang berkepribadian.

Kalau ekonom hanya berpikir secara sektoral maka sudah pasti akan sulit memecahkan persoalan bangsa yang diyakini tidak ada yang tidak bersifat cross cutting. Masalah kemiskinan, ketimpangan, pendidikan, infrastruktur, keamanan, apalagi pembangunan nasional semuanya bersifat cross cutting atau bersifat lintas. Baik lintas negara, lintas bangsa, lintas waktu, lintas generasi, lintas sektor, lintas gatra pembangunan.

Ke semua issue lintas ini di kristalisasikan setiap tahun dalam dokumen yang disebut dengan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) serta dokumen lima tahunan dalam RPJMN. Saat ini dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan saling ketergantungan dalam hidup berbangsa dan bernegara, semua issue atau persoalan, baik secara nasional maupun global semakin menunjukkan Inter dan Intra-related antar semua aspek, tidak ada issue yang tidak saling terkait, atau cross cutting.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh Trump bisa menjadi momentum untuk mengevaluasi politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Apakah sejauh ini masih “on track” sejiwa dengan nilai-nilai Pancasila dan juga sudah menjabarkan secara nyata apa yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945? Apakah politik luar negeri sudah bersinergi dengan politik ekonominya, dengan pembangunan sosial budaya? Apakah politik luar negeri dijiwai semangat “melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial”? Apakah politik luar negeri sudah mengarah kepada “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Pembukaan UUD 1945 jelas menggariskan bahwa Indonesia mengikuti prinsip negara yang terbuka, negara yang mendukung kerja sama internasional, secara bebas dan aktif. Gerakan Non-Blok yang merupakan upaya kongkret Dasa Sila Bandung sebagai hasil dari Konferensi Asia Afrika tahun 1955, nampaknya perlu dilihat lagi apakah masih “on track” dengan pemikiran para pendiri bangsa.

Kerangka berpikir yang urut dan runtut mulai dari Pancasila-Pembukaan UUD 1945- KAA (Dasa Sila Bandung)-RPJPN-RPJMN-RKP dan APBN perlu dilihat lagi apakah sudah terjabarkan dengan baik dan jelas dalam dokumen-dokumen negara sebagai pedoman pembangunan nasional. Teori dan praktik ekonomi tidak berada di ruang hampa, tidak stand alone, namun berada bersama disiplin ataupun bidang yang lain. Di sinilah rakyat mengharap ada leadership yang kuat oleh nahkoda yang membawa bahtera bangsa ini menuju cita-cita.

Ilmu ekonomi adalah juga merupakan ilmu sosial dan mengandung etika dan moralitas (Mubyarto). Economi theory is an Art and Social Science. Etika dan moral adalah faktor yang menggerakkan terjadinya mekanisme ekonomi apakah akan mengikuti pasar bebas atau lebih kepada ekonomi yang terencana, akan mementingkan kebutuhan individu atau lebih mengutamakan kepentingan umum (seluruh rakyat).

Di dunia faktor etika dan morallah yang menggerakkan proses ekonomi menuju satu keseimbangan (ekuilibrium). Apa yang sedang berlangsung saat ini lebih terlihat sebagai kondisi yang telah berubah baik secara geo-politik maupun geo-ekonomi dan sedang berproses untuk mencapai satu keseimbangan baru dalam ekonomi. Di sinilah menjadi sangat relevan konsep Trisakti: berkepribadian dalam kebudayaan. Ilmu ekonomi tanpa etika dan moral yang terjadi adalah menang-menangan sendiri. Free fight liberalisme, suatu model yang dipercaya kaum Neo-liberal paling ideal.

Baca juga: NDF Market sebagai Pisau Tajam Instrumen Keuangan dan “Cawe-Cawe” BI

Donald Trump sedang mempraktikkan Jingoisme ala liberal untuk mencoba mencari keseimbangan baru yang telah goyah denga hadirnya China sebagai kekuatan baru ekonomi dan BRICS sebagai koalisi ekonomi baru. Bagaimana dengan Gerakan Non-Blok? Bagaimana Indonesia akan bersikap? Hal ini tentunya akan memberikan “harapan baru” bagi seluruh rakyat.

Sebagai rakyat tentunya berharap bahwa nahkoda bahtera Indonesia mampu menghadapi badai dan goncangan yang dihadapi dalam berlayar meraih cita-cita bangsa. Pragmatism dan best practices hanya akan membawa kepada hal yang bersifat sesaat, namun tidak ada perubahan yang mendasar karena bergerak pada “track” yang posisinya sebagai “sub-system” dari existing sistem yang dominan, dan memposisikan diri sebagai follower.

Dalam kondisi saat ini perlu ada “keberanian yang terukur” dalam menjalankan kebijakan ekonomi-politik-sosial budaya agar tidak semakin jauh dari cita-cita bangsa. Semoga bermanfaat. Walahu’alam bishowab. (*)

Related Posts

Top News

News Update