Jakarta – Pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) menjadi 5,75 persen mendapat beragam tanggapan terkait efektivitasnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, terutama di tengah perlambatan konsumsi rumah tangga, khususnya di kalangan menengah ke bawah.
Menurutnya, langkah ini merupakan kebijakan yang bersifat “preemptive” dan “forward-looking,” dengan mempertimbangkan rendahnya inflasi serta stabilitas rupiah yang masih terjaga.
Namun, ia mengakui bahwa dampak kebijakan moneter memiliki time lag, sehingga kenaikan konsumsi bergantung pada efektivitas penurunan suku bunga dalam mendorong kredit konsumsi dan meningkatkan likuiditas rumah tangga.
“Kenaikan konsumsi akan tergantung pada sejauh mana penurunan suku bunga diterjemahkan menjadi kredit konsumsi yang lebih murah dan peningkatan likuiditas bagi rumah tangga,” jelasnya, dikutip Jumat, 31 Januari 2025.
Lebih lanjut, Josua menambahkan bahwa penurunan suku bunga juga berpotensi mendorong investasi swasta dengan menurunnya biaya pembiayaan.
Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada sentimen pasar dan stabilitas nilai tukar rupiah. BI menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, stabilitas rupiah, dan inflasi.
Baca juga : The Fed Tahan Suku Bunga, Powell Pastikan Tak Ada Unsur Politik
Dengan kebijakan ini, lanjutnya, BI berupaya mengendalikan depresiasi rupiah agar tetap menarik bagi investor asing.
Namun, ketidakpastian global dan potensi pelebaran defisit neraca berjalan harus dikelola dengan baik agar kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia tetap terjaga.
“Ketidakpastian global dan risiko pada neraca berjalan yang melebar perlu dikelola dengan baik agar investor swasta tetap percaya diri,” tandasnya.
Penurunan Suku Bunga dan Dampaknya ke Sektor Riil
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menilai bahwa pergerakan suku bunga pinjaman konsumsi dan investasi cenderung lebih stabil dibandingkan suku bunga acuan.
Dengan demikian, penurunan suku bunga oleh BI tidak serta-merta diikuti oleh perbankan dalam menurunkan suku bunga pinjaman. Hal ini menyebabkan adanya jeda waktu atau delay dalam transmisi kebijakan moneter ke sektor riil.
“Konsekuensinya apa? Pada waktu BI nurunin suku bunga, saya melihat ada delay untuk penurunan suku bunga pinjaman dan sebagainya,” ujarnya.
Baca juga: 70 Persen Masyarakat Indonesia Ngaku Tak Punya Tabungan, UOB Indonesia Beri Respons Ini
Selain itu, Tauhid menjelaskan bahwa dampak dari kebijakan pemangkasan suku bunga ini baru akan terasa dalam tiga hingga enam bulan ke depan.
Mengingat penurunannya hanya sebesar 25 basis poin, efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih terbatas.
Ekonomi RI Dibayangi Risiko Domestik
Di sisi lain, ekonomi Indonesia pada 2025 masih menghadapi berbagai risiko dan tantangan domestik. Beberapa faktor yang memengaruhi kondisi ini antara lain lemahnya daya beli serta kebijakan pemerintah yang membebani masyarakat.
Tercatat ada beberapa kebijakan yang berpotensi memengaruhi harga barang dan jasa, seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk barang mewah, penambahan objek cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), kenaikan iuran BPJS Kesehatan, potensi kenaikan harga gas Elpiji, hingga kemungkinan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Ekonom BCA, David Sumual, menyoroti pergeseran struktur tenaga kerja di Indonesia yang turut memengaruhi daya beli masyarakat.
Menurutnya, saat ini terjadi peralihan tenaga kerja dari sektor formal ke sektor informal, yang sebagian besar disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK).
Baca juga : LPS Tahan Suku Bunga Penjaminan di Level 4,25 Persen, Ini Alasannya
Fenomena ini diperburuk dengan stagnasi sektor-sektor padat karya, seperti industri tekstil, yang kini semakin tergantikan oleh sektor padat modal, seperti pertambangan. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja semakin sulit, sehingga berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat.
Pemerintah Perlu Fokus ke Sektor Padat Karya
Untuk mengatasi hal ini, David berharap pemerintah dapat lebih memfokuskan kebijakan dan investasi ke sektor padat karya. Dengan memperkuat industri yang menyerap banyak tenaga kerja, peluang kerja akan meningkat, sehingga masyarakat memiliki penghasilan yang lebih stabil.
Langkah ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan pekerja, tetapi juga memperkuat daya beli masyarakat secara keseluruhan.
“Pemerintah dapat memfokuskan ke sektor sektor labor intensive, seperti dengan memberikan investasi ke sektor tersebut,” ujarnya kepada media di Jakarta, 29 Januari 2025.
Dampak Kenaikan Pajak dan Kebijakan Pemerintah
Terkait kebijakan perpajakan, kenaikan pajak memang berpotensi memengaruhi daya beli. Namun, kenaikan PPN menjadi 12 persen lebih banyak ditujukan pada barang mewah, sehingga dampaknya terhadap masyarakat luas relatif kecil.
Selain itu, kenaikan pajak daerah atau opsen pajak juga dinilai tidak terlalu signifikan dalam mengubah nilai akhir yang harus dibayarkan oleh masyarakat.
“Pajak yang meningkat akan berdampak pada daya beli, tapi sejauh ini PPN 12 persen akhirnya untuk barang mewah, opsen tidak terlalu banyak mengubah nilai akhir yang harus dibayar,” kata dia.
Di sisi lain, skema iuran BPJS Kesehatan yang baru, termasuk skema Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), masih belum sepenuhnya jelas apakah akan mengalami kenaikan atau tidak.
Saat ini, fokus pemerintah lebih mengarah pada peningkatan konsumsi masyarakat dibandingkan investasi, berbeda dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya yang lebih menitikberatkan pada investasi.
Baca juga: Investasi Naik Tapi Serapan Tenaga Kerja Minim, Ini Solusi Menteri Rosan Roeslani
Salah satu contohnya, kata David, adalah program bantuan langsung seperti bantuan sosial dan insentif konsumsi yang bertujuan mendorong belanja masyarakat dalam jangka pendek hingga menengah.
Jika nantinya ada kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam skema baru, dampaknya terhadap daya beli masih belum dapat dipastikan.
Selain itu, investasi asing juga menjadi faktor penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sayangnya, masuknya investasi asing ke Indonesia masih terkendala oleh kebijakan yang sering berubah serta birokrasi yang rumit.
Hal ini membuat banyak investor lebih memilih berinvestasi di negara lain, seperti Vietnam, yang dianggap lebih stabil dan memiliki regulasi investasi yang lebih efisien.
“Fokus pemerintah saat ini lebih ke konsumsi masyarakat. Sementara, pemerintahan sebelumnya lebih ke investasi, seperti makan bergizi gratis (MBG) , yang secara langsung dapat meningkatkan daya beli dalam jangka pendek-menengah,” pungkasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra