Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa skema pencatatan baru dalam industri asuransi, yakni Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 117 tentang Kontrak Asuransi, telah resmi diberlakukan sejak 1 Januari 2025.
Dengan diberlakukannya PSAK 117, OJK menetapkan batas waktu penyampaian laporan keuangan triwulanan menjadi 45 hari setelah triwulan berakhir pada 2025. Pada 2026, batas waktu ini akan diperketat menjadi 30 hari.
Merespons kebijakan ini, Komisaris Utama Indonesia Financial Group (IFG), Fauzi Ichsan, mengungkapkan manfaat implementasi PSAK 117 bagi anak perusahaan asuransi IFG dan industri asuransi di Indonesia secara umum. Menurutnya, dengan penerapan PSAK 117, penerimaan premi asuransi untuk menjamin risiko multi-years tidak bisa dibukukan secara langsung (upfront) tetapi harus diamortisasi.
Baca juga: PSAK 117 Mulai Berlaku, Prudential Indonesia Rasakan Dampak Positifnya
“Ini adalah masalah utama di banyak perusahaan asuransi Indonesia, di mana perusahaan asuransi menjamin risiko bersifat multi-years, tetapi menerima preminya secara upfront dan membukukannya di tahun pertama,” ujar Fauzi dalam acara Economic Outlook 2025 bertema “Membaca Tanda-Tanda Akankah Terjadi Krisis di Tengah Ketidakpastian Global dan Lemahnya Daya Beli Masyarakat”, yang diselenggarakan oleh Infobank bersama Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan Marketing Research Indonesia (MRI), di Hotel Shangri-La, Jakarta, Selasa, 4 Februari 2025.
Menurutnya, praktik pencatatan premi secara upfront kerap dilakukan oleh perusahaan asuransi demi mengejar bonus jangka pendek, tanpa mempertimbangkan potensi klaim besar pada masa depan.
“Karena manajemen atau direksinya kejar bonus. Dia tak peduli jika nanti yang dijamin ‘meledak’, klaimnya besar, selama ‘meledaknya’ itu bukan di zamannya dia,” sambungnya.
Baca juga: OJK Siapkan 7 POJK dan 9 SEOJK untuk Penguatan Industri Asuransi-Dana Pensiun
Fauzi, yang telah menjabat sebagai Komisaris Utama IFG selama lebih dari empat tahun, mengakui bahwa persoalan pembukuan upfront premi asuransi berisiko multi-years merupakan isu yang kerap dihadapi oleh banyak perusahaan asuransi nasional.
“Jadi, banyak sekali borok-borok yang ditutup. Namun, dengan adanya PSAK 117, itu tak bisa lagi dilakukan karena sekalipun pembayaran premi dilakukan upfront, akuntansinya itu harus diamortisasi,” cetusnya.
Tantangan Penerapan PSAK 117 dan POJK 23/2023
Implementasi PSAK 117 mengharuskan perusahaan asuransi mencatat premi upfront sebagai keuntungan yang belum diperoleh dan penyesuaian risikio diperkirakan akan menggerus modal perusahaan asuransi.
Di sisi lain, OJK juga menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Regulasi ini mewajibkan perusahaan asuransi dan reasuransi untuk menaikkan modal minimum dengan batas waktu hingga 2028.
Baca juga: Siap-siap! OJK Naikkan Modal Minimum Asuransi Jadi Rp1 Triliun pada 2028
Batas waktu tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan bahwa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menjamin polis asuransi pada 2028. Melalui POJK Nomor 23 Tahun 2023, OJK mewajibkan perusahaan di Kelompok 1 Perusahaan Perasuransian Berdasarkan Ekuitas (KPPE 1) untuk meningkatkan modalnya dari Rp150 miliar ke Rp500 miliar, dan ke Rp1 triliun untuk perusahaan di KPPE 2.
Sedangkan untuk reasuransi, KPPE 1 diwajibkan menaikkan modal ke Rp1 triliun dari Rp300 miliar. Sementara perusahaan reasuransi di KPPE 2, diwajibkan menaikkan modal minimum ke level Rp2 triliun.
Industri Asuransi Dihadapkan pada Persaingan Ketat
Fauzi menilai bahwa regulasi peningkatan modal inti ini menjadi tantangan besar bagi industri asuransi. Hal itu mengingat 47 persen perusahaan asuransi jiwa belum memenuhi ketentuan KPPE 1 dan sebanyak 67 persen perusahaan asuransi umum tidak memenuhi di keduanya (KPPE 1 dan KPPE 2).
“Jadi, permasalahan industri asuransi di Indonesia ini fragmented, terlalu banyak perusahaan asuransi kecil yang tak bisa bersaing,” jelas Fauzi.
Baca juga: Soal Modal Asuransi Naik di 2026, Ketua AAUI Wanti-wanti Hal Ini
Lebih jauh, ia menjelaskan, bila di perbankan ada bank bermasalah, deposan atau nasabah dapat langsung menarik dananya (liquidity run). Sementara itu, tindakan serupa tak bisa dilakukan di perusahaan asuransi. Inilah yang menyebabkan kegagalan pada sebuah perusahaan asuransi lebih parah ketimbang yang dialami perbankan.
“Tak seperti perbankan yang telah direstrukturisasi paska krismon ‘98, industri asuransi masih bertransformasi, di mana mayoritas masih under-capitalized dan rentan gagal dengan persaingan yang ketat di tengah pelemahan belanja masyarakat, penurunan suku bunga, dan meningkatnya bencana alam akibat global warming,” imbuhnya.
Meski demikian, Fauzi optimistis bahwa industri asuransi nasional dapat terus diperkuat melalui transformasi dan restrukturisasi berkelanjutan, termasuk rekapitalisasi, merger, dan akuisisi. (*) Steven Widjaja