Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BRI) mengungkapkan sejumlah tantangan yang akan dihadapi pada 2025, baik dari sisi global maupun domestik.
Direktur Utama BRI, Sunarso, menyatakan bahwa pemulihan ekonomi global masih dibayangi ketidakpastian, terutama akibat kebijakan proteksionis dan tarif yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap Tiongkok, Meksiko, dan Kanada. Kebijakan ini berpotensi memicu perang dagang.
Selain itu, kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserve, yang cenderung hawkish, juga menjadi tantangan tersendiri bagi pertumbuhan ekonomi domestik.
“Terutama mungkin kita tidak bisa berharap banyak tentang penurunan suku bunga. Dan juga kebijakan proteksi ini akan menimbulkan perang dagang,” ujar Sunarso dalam Paparan Kinerja Triwulan IV-2024, Rabu, 12 Februari 2025.
Baca juga: BRICS Kena Tarif Impor AS, Indonesia Terancam Jadi ‘Pasar Buangan’
Lebih lanjut, Sunarso menekankan pentingnya mengantisipasi dampak dari potensi perang dagang tersebut. Ia mengkhawatirkan Indonesia akan dibanjiri barang-barang impor, yang bisa berdampak negatif pada lapangan kerja.
“Itu kita harus jaga dengan baik supaya kita di sini tidak kehilangan pekerjaan. Itu yang paling penting karena tugas kita yang utama adalah menciptakan lapangan kerja sebenarnya,” pungkasnya.
Dari sisi domestik, tantangan datang dari deflasi signifikan yang terjadi pada Januari 2025. Kondisi ini dapat menekan daya beli dan konsumsi masyarakat, yang pada akhirnya berdampak pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
“Driver utama untuk loan demand ataupun loan growth terutama di UMKM ini adalah dua hal ini, yaitu purchasing power, daya beli masyarakat, dan juga possible consumption, konsumsi rumah tangga. Kalau ini menurun maka permintaan terhadap kredit juga akan menurun terutama di UMKM, itu yang harus kita address,” imbuh Sunarso.
Baca juga: Modal Kuat, BRI Bocorkan Rencana Dividen Jumbo Tahun 2024
Di sisi lain, Sunarso juga menyoroti tantangan likuiditas yang masih ketat, terutama dengan potensi kenaikan suku bunga The Fed dan dampak perang dagang terhadap nilai tukar mata uang asing.
“Dan pasti responsnya yang paling instan adalah menaikkan suku bunga. Dan itu artinya akan ada tantangan di likuiditas,” tambahnya.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, kata sunarso, pihaknya akan berhati-hati dengan menargetkan pertumbuhan kredit di kisaran 7-9 persen, serta menjaga net interest margin (NIM) di level 7,3-7,7 persen.
“Kemudian kita masih, terutama di UMKM ini, masih menghadapi isu-isu yang terkait dengan kualitas kredit. Maka kita harus jaga-jaga dengan guidance tentang cost of credit sekitar 3-3,2 persen. Kalau bisa lebih rendah dari itu akan lebih baik. Tapi untuk kehati-hatian, saya pikir kita masih menganggarkan bahwa cost of credit kita akan berada di kisaran 3-3,2 persen,” jelas Sunarso.
Baca juga: BRI Genjot Bisnis Bullion Bank, Siapkan Sumber Pertumbuhan Baru
Sementara itu, BRI menargetkan rasio kredit bermasalah (non-performing loan atau NPL) dapat dijaga di bawah 3 persen. Rasio biaya terhadap pendapatan (cost to income ratio atau CIR) juga ditargetkan tetap stabil di kisaran 42-44 persen. (*)
Editor: Yulian Saputra