BRICS Kena Tarif Impor AS, Indonesia Terancam Jadi ‘Pasar Buangan’

BRICS Kena Tarif Impor AS, Indonesia Terancam Jadi ‘Pasar Buangan’

Jakarta – Kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang berencana menerapkan tarif impor sebesar 100 persen terhadap negara-negara BRICS, termasuk Indonesia sebagai anggota baru, dinilai berpotensi memberikan dampak signifikan.

Peneliti Next Policy, Muhammad Ibnu, mengingatkan bahwa kebijakan tarif impor tersebut harus menjadi perhatian serius pemerintah.

“Kebijakan ini dapat menyebabkan oversupply di negara-negara BRICS, yang pada akhirnya bisa menjadikan Indonesia sebagai ‘pasar pembuangan’ bagi negara-negara dengan industri yang lebih matang,” ujar Ibnu dalam keterangan resmi, Senin, 10 Februari 2025.

Baca juga: Jadi Anggota BRICS, Luhut: Pasar RI Kian Besar di Kancah Global

Ibnu mempertanyakan relevansi dan urgensi keanggotaan Indonesia dalam BRICS. Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan alasan yang jelas selain narasi politik bebas aktif dan diversifikasi mitra strategis. Padahal, situasi ekonomi domestik sedang tidak baik-baik saja.

“Sejak 2024, konsumsi rumah tangga terus melemah, terjadi deflasi selama lima bulan berturut-turut, dan tingkat penyerapan tenaga kerja dalam kategori buruh/pegawai masih di bawah 40,7 persen, angka yang pernah dicapai sebelum pandemi 2019. Selain itu, pemangkasan belanja pemerintah yang belakangan ramai diperbincangkan menambah tekanan terhadap perekonomian nasional,” ungkap Ibnu.

Lebih lanjut, Ibnu menyoroti tren perlambatan pertumbuhan industri pengolahan yang terus menurun dalam tiga tahun terakhir, yakni 4,89 persen pada 2022, 4,64 persen pada 2023, dan 4,43 persen pada 2024.

Sebagai sektor utama dalam PDB industri manufaktur, idealnya pertumbuhan industri pengolahan harus berada di atas 5 persen agar sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.

“Indonesia belum bertransformasi menjadi negara industri, tetapi kontribusi sektor industri justru menyusut. Ini memperkuat indikasi deindustrialisasi dini yang semakin nyata,” tambahnya.

Baca juga: Indonesia Gabung BRICS, Luhut: Kita Terlalu Besar untuk Berpihak ke Satu Negara

Selain itu, pasca 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, diperlukan strategi kebijakan industri yang lebih jelas, konsisten, dan berpihak pada pertumbuhan industri lokal.

“Indonesia harus memanfaatkan keanggotaan BRICS untuk memperkuat rantai nilai industri global, bukan sekadar menjadi pasar bagi negara lain,” kata Ibnu.

Ibnu menambahkan bahwa di tengah tren penurunan daya beli masyarakat, peningkatan daya saing industri lokal tidak akan terjadi secara otomatis. Dibutuhkan dukungan nyata dari pemerintah melalui kebijakan yang tepat, infrastruktur yang memadai, serta investasi dalam riset dan inovasi.

“Jika tidak, keanggotaan Indonesia di BRICS justru bisa menjadi beban yang memperlemah sektor industri nasional, alih-alih memperkuatnya,” imbuhnya.

Ketidakjelasan Arah Kebijakan Pemerintah dalam BRICS

Sementara itu, Shofwan Al Banna Choiruzzad, Ph.D., Associate Professor Hubungan Internasional Universitas Indonesia, menyoroti ketidakjelasan strategi pemerintah terkait keanggotaan di BRICS. 

“Belum jelas apa yang ingin dicapai pemerintah dengan bergabung ke BRICS, terutama karena arah kebijakan yang belum konsisten,” ungkapnya.

Baca juga: Resmi Masuk ‘Geng’ BRICS, Indonesia Dinilai Perlu Waspadai Hal ini

Dari perspektif kebijakan industri, Made Krisna Y. W. Gupta, atau yang akrab disapa Imed, Ekonom FEB UI, menekankan perlunya strategi industri yang lebih progresif. Ia membandingkan kebijakan Indonesia dengan Tiongkok, yang mengalokasikan 5 persen dari PDB untuk subsidi industri.

“Industri Tiongkok berkembang pesat karena insentif besar, sementara di Indonesia, insentif bagi industri masih sangat terbatas,” katanya. 

Menurutnya, pemerintah harus lebih fokus mengembangkan industri strategis yang memiliki potensi ekspor tinggi serta mampu mengurangi ketergantungan terhadap impor.

Selain insentif industri, Imed juga menyoroti pentingnya integrasi regional untuk memperkuat daya saing industri nasional.

“Indonesia harus berperan lebih aktif dalam ekosistem industri ASEAN, mengingat potensi pasar yang besar dan masih dapat dikembangkan,” tambahnya. (*)

Editor: Yulian Saputra

Related Posts

Top News

News Update