Jakarta - CEO KrediOne Kuseryansyah menyatakan Indonesia patut bersyukur karena tingkat inklusi keuangan terus meningkat. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 mencatat indeks inklusi keuangan mencapai 80,51 persen, sementara literasi keuangan baru 66,46 persen.
Menurutnya, angka ini memang menggembirakan, namun menyimpan paradoks. Masyarakat semakin mudah mengakses layanan keuangan, tetapi belum sepenuhnya memahami cara menggunakannya dengan sehat.
Kuseryansyah mengatakan, fenomena ini melahirkan kontradiksi. Di satu sisi, Indonesia dipuji sebagai salah satu pasar pinjaman daring terbesar di Asia Tenggara, dengan akumulasi penyaluran telah melampaui Rp1.000 triliun sejak berdiri.
Baca juga: KrediOne Ajak Pelaku Industri Pindar Perkuat Tata Kelola
Di sisi lain, Satgas PASTI menerima 4.344 pengaduan pinjol ilegal hanya dalam lima bulan pertama 2025, dan hingga Maret sudah menutup 1.123 entitas ilegal.
“Inklusi tanpa literasi ibarat rumah tanpa fondasi, rapuh dan mudah runtuh,” kata Kuseryansyah.
Tantangan Nyata
Kuseryansyah menyebutkan sejumlah tantangan dalam literasi dan inklusi keuangan. Pertama, kesenjangan pemahaman. Banyak pengguna hanya melihat kemudahan akses, tanpa menyadari pengenaan biaya, bunga, jangka waktu pinjaman, lebih jauh tentang disiplin dan kewajiban membayar tepat waktu.
Kedua, keamanan dan kepercayaan. Kasus penyalahgunaan data pribadi dan penipuan digital membuat masyarakat ragu. Padahal, industri resmi yang diawasi OJK ini menyalurkan pinjaman dengan outstanding hingga Rp83,52 triliun per Juni 2025 kepada lebih dari 15 juta akun aktif. Tanpa kepercayaan, adopsi layanan digital akan terhambat.
Ketiga, pembiayaan produktif yang terbatas. UMKM sebagai tulang punggung ekonomi masih kesulitan mendapatkan pembiayaan yang sesuai. Padahal fintech lending bisa menjadi motor pertumbuhan jika diarahkan ke sektor produktif.
Keempat, ketimpangan wilayah. Masyarakat perkotaan semakin terbiasa dengan e-wallet/QRIS dan layanan digital lainnya, tetapi di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) infrastruktur dan akses masih minim
Baca juga: Transaksi LCT Tembus USD6,23 M, Indonesia-China Gaspol Uji Coba QRIS Lintas Negara
Peran Penting Regulator dan Industri
Kuseryansyah menyatakan, regulator dan asosiasi industri memegang peran penting dalam meningkatkan kualitas inklusi dan literasi keuangan ini.
OJK dan Bank Indonesia terus memperkuat pengawasan sekaligus gencar mengedukasi publik. Hal ini dalam upaya memastikan penyelenggara keuangan digital (bank, fintech: pembayaran -pinjaman - asuransi -investasi) beroperasi sesuai aturan.
Selain itu, hal tersebut menciptakan rasa aman sehingga masyarakat berani dan semakin nyaman menggunakan layanan resmi asosiasi seperti, AFPI, AFTECH, AFSI, ALUDI harus terus aktif mengadakan program literasi lintas pemangku kepentingan bersama regulator, akademisi, komunitas dan pelaku usaha.
“Mendorong penerapan code of conduct agar anggota fintech lending patuh pada standar etika, sehingga masyarakat tidak merasa dirugikan dan pengguna mendapatkan rasa aman,” tambahnya.
Baca juga: Literasi Keuangan RI 2025 Masih Tertinggal dari Inklusi? Ini Penjelasan OJK
Selanjutnya mendorong tata kelola sehat serta memerangi pinjol/investasi ilegal. Tidak dapat berjalan sendiri, ekosistem ini hanya akan efektif jika masyarakat ikut bergerak dari sekadar tahu menjadi mampu menggunakan dengan benar. Layanan keuangan digital ditantang menghadirkan produk berbasis kebutuhan nyata.
“Bukan sekadar menambah download-install aplikasi, meningkatkan registrasi melainkan menghadirkan solusi nyata: pembiayaan usaha, integrasi dengan e-commerce, hingga layanan pembayaran digital yang efisien,” pungkasnya.
Dari Literasi ke Aksi
Inklusi keuangan digital tidak boleh berhenti pada angka statistik. Literasi harus diubah menjadi aksi. Edukasi berbasis komunitas, dari koperasi, pesantren, hingga UMKM, dan beragam komunitas lebih efektif karena dekat dengan kehidupan masyarakat.
Kuseryansyah menyebutkan, transparansi juga mutlak. Biaya, bunga, hingga risiko harus dijelaskan dengan sederhana. Semakin jujur dan terbuka penyedia layanan, semakin tinggi pula kepercayaan publik.
Kuseryansyah menilai, Indonesia punya modal besar, populasi digital native, ekosistem fintech yang terus berkembang, dan regulasi yang makin matang.
Namun inklusi keuangan digital seharusnya bukan sekadar akses, melainkan pemberdayaan. Jika dikelola dengan benar, ia bisa menjadi mesin produktivitas, bukan jebakan konsumtif. Selain itu, visi ke depan juga harus jelas mulai dari literasi ke aksi, dari akses ke pemanfaatan, dari transaksi ke produktivitas.
“Tanpa itu, inklusi hanya akan menjadi angka, bukan perubahan nyata,” tutup Kuseryansyah. (*)
Editor: Yulian Saputra










