Jakarta – Dugaan adanya kerugian Negara senilai Rp4,58 triliun dari dirilisnya Surat Keterangan Lunas (SKL) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) menghadirkan bankir senior, Sigit Pramono sebagai saksi ahli dalam lanjutan siding terdakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT).
Kala ditanya apa perbedaan antara hapus buku dan penghapusan hak tagih, Sigit bilang dalam praktik perbankan penghapusbukuan tidak bisa dikatakan sebagai bentuk kerugian. Karena dalam praktiknya hapus buku sama sekali tidak menghilangkan hak tagih. “Penghapusbukuan hanya menghapus kredit dari catatan akutansi , karena itu dampaknya baru sebatas potential lost, belum realized cost atau kerugian yang terealisasi,” tutur Sigit di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (13/8).
Sebagaimana diketahui dalam pemenuhan kewajiban Bantuan Likuiditas bank Indonesia (BLBI) ketika menghadapi krisis 1998, BDNI menyertakan kredit tani Petambak Dipasena senilai Rp4,58 triliun. Namun dalam perjalanannya kemudian, Jaksa Tipikor menilai SAT telah merugikan negara sebesar Rp4,58 triliun karena telah mengusulkan kepada KKSK untuk menghapusbukukan kredit petani tambak di Bank Beku Operasi (BBO) BDNI.
Menurut Sigit, konsekuensi penghapusanbukuan hanya tidak ditampilkannya kredit laporan keuangan, dan sifatnya masih potential loss karena hak tagih BPPN terhadap kredit tersebut masih ada. Hak tagih inilah yang pada saat penutupan BPPN pada 2004, dialihkan ke PT (Persero) Perusahaan Pengelola Aset (PAA) yang menampung semua aset BPPN.
“Seingat saya, proses restrukturisasi perbankan semasa SAT berjalan sesuai prosedur dan lancar, dibandingkan periode sebelumnya. Dengan tuntasnya restrukturisasi itulah, Indonesia kini mempunyai sektor perbankan yang kuat. Sehingga seharusnya SAT perlu diganjar dengan penghargaan,” sambung mantan Ketua Perbanas ini.
Ia menambahkan, bahwa ukuran kinerja BPPN yang terpenting adalah bagaimana lembaga tersebut bisa menyehatkan perbankan bukan mencari untung. “Kedua, adalah recovery rate, mereka tidak diukur untung rugi di situ karena ini bukan lembaga yang mencari untung dan tidak bisa rugi,” tegasnya.
Baca juga: Pemberian SKL BDNI Penuhi Ketentuan Hukum
Dalam sidang, Yusril Ihza Mahendra, salah satu kuasa hukum terdakwa SAT menegaskan bahwa sesuai keterangan saksi ahli, bahwa belum terjadi kerugian negara. “Ketika diserahkan utang itu dalam bentuk hak tagih, itu yang ada baru potential loss. Jadi potensi rugi negara, belum terjadi kerugian,” ucapnya.
Seperti diketahui, SAT disidangkan dengan dakwaan telah menyebabkan kerugian kepada negara sebesar Rp4,58 ketika menjabat sebagai Ketua BPPN. Kerugian ini dianggap disebabkan ketika SAT mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada 2004 kepada Sjamsul Nursalim (SN), mantan pemegang saham pengendali Bank BDNI.
Kuasa Hukum SN, Otto Hasibuan belum lama ini memaparkan bahwa keluarnya SKL BDNI telah melalui proses panjang dan memiliki kekuatan hukum. “Pada 25 Mei 1999, closing MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement), diberikan release and discharge (Sjamsul Nursalim) dibebaskan dari utang-utang. Lalu dikeluarkan letter of statement,” tuturnya.
Sementara itu, dalam sidang lanjutan notaris Merryana Suryana selaku pencatat pernyataan BPPN yang saat itu diwakili Farid Herianto mengatakan bahwa SN telah menyelesaikan transaksinya sebagaimana diatur dalam perjanjian MSAA. Dengan demkian SAT memiliki peluang lolos dari dakwaan kasus dugaan korupsi SKL BLBI.
Letter of Statement itu terkait penyelesaian kewajiban SN kepada BPPN terkait dengan perjanjian MSAA yang ditandantangani kedua belah pihak, termasuk surat keterangan Release and Discharge (R&D). “Akta Letter of Statement itu merupakan akta otentik yang mengikat para pihak. Selama belum digugat pembatalannya ke pengadilan, isi akta tetap berlaku dan mengikat,” kata Farid.
Letter of Statement tersebut dibuat di depan Merryana Suryana sebagai notaries, dan dituangkan dalam Akta No. 48, tanggal 25 Mei 1999. Artinya surat ini memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna mengenai isi yang diterangkan di dalamnya.
Menurut Farid, Letter of statement itu dibuat berdasarkan perjanjian MSAA dan R&D. Karenanya, penandatanganan akta menunjukkan BPPN telah menerima penyelesaian kewajiban SN seperti tertuang dalam MSAA. Sesuai dengan prinsip MSAA adalah penyelesaian masalah diluar pengadilan (out off court settlement), di mana para pihak sepakat untuk tidak melakukan tuntutan hukum pidana terkait dengan isi perjanjian yang telah disepakati. (*)