Jakarta – Sekretariat Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) mengadakan kegiatan Diskusi dengan mengambil tema “Transparansi Beneficial Ownership– Bangun Iklim Usaha yang Transparan”. Acara diskusi dihadiri dan dibuka langsung oleh Soeharso Monoarfa, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas selaku salah satu anggota Tim Nasional Stranas PK pada Kamis, 16 September 2021. Turut hadir pula narasumber lainnya, diantaranya Slamet Soedarsono, Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Bappenas; Cahyo Rahadian Muzha, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM; Achmad Idrus, Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal Kementerian Investasi RI/BKPM; Yanuar Nugroho, Akademisi dan M. Arsjad Rasjid P.M, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi (Beneficial Ownership/BO) merupakan komitmen global dalam rangka menciptakan iklim usaha yang aman dan transparan. Namun demikian, penerapan transparansi BO masih menghadapi berbagai tantangan termasuk di Indonesia.
Saat ini di Indonesia tingkat transparansi Pemilik Manfaat atau Beneficial Ownership(BO) masih sangat rendah. Menurut data Kementerian Hukum dan HAM per 31 Agustus 2021 baru sekitar 515.783 korporasi atau 22,36% dari total 2,306.908 juta korporasi yang telah menerapkan prinsip transparansi BO.
“Indonesia telah menerapkan transparansi data BO sejak terbitnya Perpres No.13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT). Namun, baru 22,36% korporasi yang melaksanakan deklarasi data BO . Hal ini utamanya disebabkan karena masih lemahnya dukungan regulasi dalam penerapan transparansi data BO”, ujar Soeharso.
Dalam diskusi dijelaskan, minimnya transparansi data BO dapat mengakibatkan, satu, peningkatan potensi penyalahgunaan korporasi untuk tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT). Dua, penghindaran pajak. Tiga, rendahnya pemulihan aset tindak pidana. Empat, penurunan tingkat kepercayaan investor akibat asimetri informasi diantara pengusaha/investor. Dan lima, rendahnya kualitas pengadaan barang dan jasa.
Sementara tidak optimalnya penerapan transparansi BO juga dapat mempengaruhi penilaian dari beberapa indikator global seperti peringkat Ease of Doing Business (EoDB). Dalam EoDB tersebut sangat terkait dengan indikator perlindungan investor oleh World Bank dan Global Corruption Barometer Asia yang dipublikasikan Transparency International.
Senada, Achmad Idrus menyatakan sangat mendukung adanya transparansi BO untuk dapat diterapkan dalam proses perizinan yang ada di BPKM. Ia mengatakan, BKPM akan menetapkan regulasi terkait dengan penerapan BO bagi para Pelaku Usaha. Penyampaian informasi BO, lanjutnya, dimungkinkan untuk dilakukan di luar proses pendirian badan hukum, dimana dalam hal korporasi belum menetapkan pemilik manfaat, korporasi dapat menyampaikan surat kesediaan untuk menyampaikan informasi pemilik manfaat kepada instansi berwenang.
Sementara itu, dalam paparannya, Yanuar menjelaskan bahwa penerapan transparansi BO bagi para pelaku usaha di Indonesia sangat penting untuk dapat menciptakan iklim usaha yang transparan. Ia memaparkan bahwa 91% pemimpin bisnis menganggap penting untuk mengetahui Beneficial Ownership dari entitas yang melakukan hubungan bisnis dengan mereka seperti yang dikutip dari EY’s Global Fraud Survey, 2016.
Selanjutnya, Arsjad Rasjid yang mewakili pelaku usaha mengatakan bahwa Perusahaan dengan Good Corporate Governance harus menggabungkan transparansi, akuntabilitas, dan integritas dan ini membutuhkan informasi tentang BO, dan dengan mengungkapkan BO suatu korporasi juga dapat menunjukkan bahwa korporasi tersebut tidak berupaya untuk menghindar dari kewajiban perpajakan.
“Dengan transparansi BO, Korporasi juga turut dalam pemberantasan korupsi dan terorisme serta dapat terhindar dari dugaan kegiatan pencucian uang, kami dari Kadin Indonesia sangat mendukung dengan transparansi BO ini”, jelas Arsjad Rasjid.
Pengembangan sistem atau aplikasi yang mendukung transparansi BO juga sudah mulai dilaksanakan dengan diluncurkannya Aplikasi Pemilik Manfaat (bo.ahu.go.id) sebagai pusat data informasi BO / Pemilik Manfaat di Kemenkumham dan pengembangan sistem di Kementerian sektoral seperti Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (SIPERIBUN) di Kementan, sistem perizinan di Kementerian ESDM dan Kementerian ATR/BPN.
“Kami di Kemenkumham telah memiliki Perjanjian Kerja Sama dengan 5 (lima) Kementerian yang memiliki data BO diantaranya adalah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam. Kita harus bersama-sama dalam mewujudkan iklim investasi yang kondusif dan berintegritas di indonesia’’, ujar Cahyo.
Digelarnya kegiatan ini sebagai komitmen Stranas PK untuk terus mendorong tersedianya data Beneficial Ownership (BO) yang akurat dan terintegrasi yang dapat diakses oleh publik serta dapat juga dimanfaatkan untuk penanganan perkara, perizinan, dan pengadaan barang dan jasa. Pemanfaatan data BO juga diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.(*)