Jakarta – Kuasa hukum Sjamsul Nursalim (SN) Otto Hasibuan sesalkan penetapan status tersangka oleh KPK terhadap kliennya. Apalagi status tersangka juga disematkan ke istri SN, yakni Itjih Nursalim.
Hal itu dianggap bertentangan dengan perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dengan SN pada 21 September tahun 1998 lewat master settlement and acquisition agreement (MSAA).
Dari perjanjian itu, Pemerintah berjanji dan menjamin memberikan imunitas untuk tidak menuntut SN dalam bentuk apapun, dalam hal ini termasuk tidak melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara pidana apabila SN telah memenuhi kewajibannya.
Dimana SN mengikatkan diri hanya untuk menanggung kewajiban Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), sebagai pemegang saham sebesar Rp28,40 triliun. Perjanjian tersebut telah disepakati oleh BPPN.
Seperti diketahui, total kewajiban BDNI kala itu tercatat mencapai Rp47,25 triliun. Setelah dikurangi aset BDNI sebesar Rp18,85 triliun, kewajiban yang ditanggung SN disepakati Rp28,40 triliun.
Otto mengungkapkan, fakta bahwa tanggal 25 Mei 1999, SN telah memenuhi kewajibannya untuk membayar sebesar Rp28,40 triliun.
“Kewajiban sebesar Rp28,40 triliun disepakati untuk diselesaikan dengan cara pembayaran tunai Rp1 triliun dan penyerahan aset berupa saham-saham perusahaan senilai Rp27,49 triliun,” kata
Otto di Hotel Grand Sahid Jakarta, Rabu, 19 Juni 2019.
Dari sikap taat hukum itu, seluruh kewajiban SN telah dibayar lunas. Hal ini dinyatakan Pemerintah dalam Surat Release and Discharge tertanggal 25 Mei 1999 yang dipertegas dengan akta otentik berupa Akta Notaris “Letter of Statement” No. 48, tanggal 25 Mei 1999 yang dibuat di hadapan Merryanna Suryana, Notaris di Jakarta.
Inti dari surat-surat tersebut adalah bahwa Pemerintah berjanji dan menjamin untuk tidak menuntut SN dalam bentuk apapun, termasuk tidak melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara pidana sebagaimana ditegaskan dalam Inpres No. 8/2002. lsi Surat R&D yang dikeluarkan tersebut adalah sesuai dengan format yang ditentukan dalam MSAA.
“Ternyata KPK sebagai bagian dari pemerintah tidak menghormati janji-janji dan jaminan imunitas dari pemerintah kepada SN dengan menetapkan SN dan istrinya sebagai tersangka,” tegasnya.
Seperti diketahui, alasan KPK menetapkan SN sebagai tersangka karena menurut KPK, SN pada tahun 1998 telah me|akukan misrepresentasi (memberikan pernyataan tidak benar) kepada BPPN dengan menyatakan bahwa hutang petambak sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari aset BDNI adalah piutang lancar, padahal macet, sehingga berdampak pada penentuan jumlah kewajiban sebesar Rp28,408 triliun yang harus ditanggung SN.
Atas dasar klaim adanya misrepresentasi, SN dituduh bersama-sama dengan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) melakukan perbuatan pidana karena (SAT) menerbitkan SKL pada tahun 2004.
“misrepresentasi tersebut sebenarnya tidak pernah terjadi. Kalaupun dianggap terjadi misrepresentasi, namun karena MSAA adalah perjanjian perdata maka hal tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu melalui pengadilan perdata. Apabila KPK menganggap misrepresentasi merupakan tindak pidana – quod non -, maka hal itupun tidak boleh lagi disidik dan dituntut karena sudah dijanjikan dan dijamin oleh Pemerintah. Apalagi kasus ini pun telah daluwarsa. Meskipun SKL dikeluarkan tahun 2004, tetapi oleh KPK dikaitkan dengan misrepresentasi yang diklaim terjadinya pada tahun 1998, saat MSAA ditandatangani. Jadi sudah 21 tahun (daluwarsa 18 tahun). Karena sudah daluwarsa, maka kasus ini tidak boleh lagi ditindaklanjuti,” terang Otto. (*)