Womenomics: Indikator Ekonomi Merah dan Bayang-bayang Dejavu 1998

Womenomics: Indikator Ekonomi Merah dan Bayang-bayang Dejavu 1998

EKONOMI Indonesia sedang mengalami tekanan berat. Kepercayaan pasar terus merosot. Pada perdagangan perdana pascalibur panjang Lebaran, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk 7,9 persen ke level 5.996,14. Nilai tukar rupiah terus amblas hingga sempat menembus Rp17.000 per USD1. Itu nilai terendah setelah terjadinya krisis moneter 1998. Dibandingkan posisi awal 2024 yang sebesar Rp15.390 per USD1 niai tukar rupiah merosot 10,46 persen.

Para pelaku bisnis pun nelangsa, terutama sektor manufaktur yang menerima dua pukulan. Satu, beban biaya yang naik karena bahan baku impor. Dua, penjualan yang menurun karena lemahnya permintaan pasar. Kelas menengah yang menentukan market demand jumlahnya sudah merosot 10 juta orang selama lima tahun terakhir.

Di berbagai obrolan informal kelompok intelektual dan kelas menengah, mereka sudah was-was bakal terulang krisis moneter seperti 1998. Bahkan, seorang guru besar dari Institute Teknologi Bandung (ITB) Prof Ir Yazid Bindar MSc PhD, mengatakan krisis moneter sudah di depan mata. Menurutnya, kenaikan tajam dari kisaran Rp16.000-an menjadi Rp17.000 per 1USD dalam waktu singkat mengindikasikan tekanan serius terhadap perekonomian.

“Jika ini hanya dianggap sebagai fluktuasi biasa, maka Indonesia bisa kembali mengulang sejarah yang seharusnya jadi pelajaran,” ujarnya dalam kolomnya berjudul “Menakar Krisis Moneter dengan Makin Melemahnya Rupiah di Tengah Gejolak Perang Dagang Global”.

Rendahnya kepercayaan publik makin meningkatkan permintaan mata uang USD dan emas, yang harga keduanya telah melambung. Sementara, fiskal menghadapi tekanan. Per Februari, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) defisit Rp31 triliun dan pajak anjlok 30 persen.

Menurut Nailu Huda, Ekonom Center of Economic and Law Studies, pemerintah harus lebih waspada menyikapi perkembangan kondisi makro ekonomi dan sektor riil yang terus diwarnai gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kebijakan yang diambil pemerintah pun tidak mencerminkan upaya pemulihan ekonomi. Kebijakan undang-undang Cipta Kerja hingga pelemahan KPK yang dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo, dampaknya sekarang sangat terasa. Kebijakan Presiden Prabowo juga sama, seperti efisiensi anggaran hingga elpiji 3 kilogram, menunjukkan ketidakpekaan kepemimpinan terhadap nasib rakyatnya,” ujar Nailu Huda, Ekonom Center of Economic and Law Studies kepada Infobank seperti dikutip Majalah Infobank Nomor 564 April 2025.

Sementara, Poppy Amalia, Psychologist and Micro Expression Expert, mengatakan ada fenomena fraktal yang tanda-tandanya mirip seperti sebelum krisis moneter 1998. Bukan hanya dilihat dari mata uang rupiah yang anjlok. Tapi model kepemimpinan dan pembangunan politik yang mirip seperti era Orde Baru.

“Kita semua berdoa agar kejadian krisis moneter tidak berulang kembali ya. Tapi situasi ini kalau diukur dengan konsep fractal kelihatan memiliki kemiripan di berbagai skala,” ujarnya kepada Infobank di sela-sela acara sebelum menjadi pembicara seminar Economy Outlook 2025 yang digelar kepada Infobank Media Group bersama Asosiasi Asuransi Umum Indonesia pada Februari lalu.

Tsunami PHK diprediksi bakal berlanjut. Pada tiga bulan pertama 2025, sudah ada 38 pabrik tutup. Salah satunya Sritex, yang memiliki lebih dari 10.000 pegawai. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia menyebutkan sebanyak 44,07 juta buruh terkena PHK pada Januari-Februari 2025. Kementerian Tenaga Kerja pun mencatat, angka PHK terus membengkak dari 25.114 orang pada 2022, 64.855 juta orang pada 2023, dan 77.965 orang pada 2024. PHK makin menekan daya beli masyarakat yang berpengaruh kepada kinerja sektor riil.

Selain menciptakan rantai kemiskinan baru, PHK besar-besaran juga kerap menjadikan perempuan sebagai korban pertama. Sebab, industri padat karya umumnya banyak mempekerjakan kaum wanita. Misalnya Sritex yang memiliki pegawai perempuan dengan porsi 55 persen. Surutnya industry manufaktur yang diiringi pengurangan tenaga kerja membuat persentase tenaga kerja perempuan berkurang dari 39,19 persen pada 2019 menjadi 36,32 persen pada 2024 sebagai data Badan Pusat Statistik (BPS). 

Kaum wanita yang kerap menjadi korban pertama hantaman badai PHK pun siap-siap menambah perannya dalam kegiatan ekonomi informal. Seperti saat krisis 1998 atau 2008, perempuan lebih resilien sehingga bisa segera menjadi motor penggerak ekonomi keluarga dengan melakukan pekerjaan informal. Makanya pelaku usaha ultramikro dan mikro di dunia pun didominasi oleh kaum wanita.

Apakah ekonomi bakal makin sulit dan perlu intervensi lebih masif untuk memberdayakan kaum wanita untuk makin berperan di sektor ekonomi informal karena badai PHK yang menggerus pasar kerja formal? Siapa wanita-wanita tangguh dan luar biasa yang memimpin institusi jasa keuangan tanah air? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 564 April 2025. (*) KM

Related Posts

Top News

News Update