Oleh Arief Kusuma, Country Director Aptivaa, Risk Management & Finance Consulting
SEKTOR perbankan merupakan pilar fundamental dalam struktur perekonomian nasional. Sebagai lembaga intermediasi keuangan, perbankan berperan strategis dalam menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit. Dalam konteks tersebut, likuiditas menjadi aspek vital yang menentukan kemampuan perbankan menjalankan fungsinya secara optimal.
Kondisi likuiditas perbankan nasional saat ini telah memasuki fase yang mengkhawatirkan. Fenomena ini tidak lagi terbatas pada bank-bank skala kecil dan menengah, melainkan telah merambah hingga ke institusi perbankan berskala besar yang termasuk dalam kelompok Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 atau Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI) 4.
Indikasi paling nyata tercermin dari rasio kredit terhadap simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR) sejumlah bank besar yang telah melampaui batas sehat yang ditetapkan regulator, yakni 92 persen. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran mengingat bank-bank KBMI 4 memiliki peran signifikan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
Data terkini per Februari 2025 menunjukkan beberapa bank besar dalam kelompok KBMI 4 telah mencatatkan LDR yang melampaui batas sehat. Bank Negara Indonesia (BNI) mencatatkan LDR tertinggi di antara bank-bank KBMI 4, yakni 95,7 persen. Meskipun menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 98,8 persen, namun tetap di atas batas sehat yang ditetapkan regulator.
Baca juga: OJK Beberkan Kondisi Valas Perbankan di Tengah Pelemahan Rupiah
Tingginya LDR BNI disebabkan oleh ketimpangan signifikan antara pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK). Kredit BNI tumbuh 10,2 persen secara tahunan (yoy), sementara DPK hanya tumbuh 1 persen.
Bank Mandiri juga menghadapi kondisi serupa dengan LDR mencapai 92,5 persen per Februari 2025, meningkat dari 90,8 persen pada periode sama tahun sebelumnya. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan kredit yang pesat sebesar 19 persen secara tahunan, sementara DPK hanya tumbuh 1,4 persen.
Sementara itu, Bank Central Asia (BCA) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) masih memiliki LDR pada level relatif aman. LDR BCA meningkat dari 73,5 persen menjadi 80,6 persen dalam setahun, sedangkan BRI mencatatkan LDR pada level 88,26 persen. Meskipun masih dalam batas aman, tren peningkatan LDR pada kedua bank tersebut tetap perlu diwaspadai.
Fenomena ketatnya likuiditas perbankan nasional merupakan akumulasi dari berbagai faktor yang saling berinteraksi. Faktor dominan adalah ketimpangan signifikan antara pertumbuhan kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK).
Perlambatan pertumbuhan DPK disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pergeseran preferensi investasi masyarakat dari produk simpanan perbankan konvensional ke instrumen investasi alternatif dengan imbal hasil lebih tinggi.
Kedua, tekanan inflasi yang menyebabkan masyarakat mengalokasikan porsi lebih besar dari pendapatannya untuk konsumsi, sehingga mengurangi kapasitas menabung.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang belum optimal menyebabkan terbatasnya peningkatan pendapatan masyarakat.
Dari perspektif makroekonomi, kebijakan moneter Bank Indonesia juga berpengaruh signifikan terhadap kondisi likuiditas perbankan. Kebijakan suku bunga, giro wajib minimum (GWM), dan operasi pasar terbuka (OPT) secara langsung memengaruhi ketersediaan likuiditas dalam sistem perbankan.
Kondisi likuiditas yang semakin ketat memiliki implikasi dan risiko signifikan. Implikasi paling nyata adalah terbatasnya ruang ekspansi kredit perbankan. Bank-bank dengan LDR yang mendekati atau melampaui batas sehat akan menghadapi kendala dalam menyalurkan kredit baru, meskipun terdapat permintaan tinggi dari sektor riil.
Risiko kedua adalah potensi kenaikan biaya dana (cost of fund). Dalam kondisi likuiditas ketat, bank-bank cenderung meningkatkan suku bunga simpanan untuk menarik dana masyarakat, yang akan meningkatkan biaya dana secara keseluruhan.
Baca juga: Dampak Kebijakan Tarif Trump terhadap Risiko Perbankan di Indonesia
Dari perspektif profitabilitas, ketatnya likuiditas dapat menekan margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM). Ketika biaya dana meningkat sementara kemampuan menaikkan suku bunga kredit terbatas, NIM akan mengalami tekanan signifikan.
Implikasi lain yang penting adalah meningkatnya risiko likuiditas sistemik. Ketika sejumlah bank besar mengalami tekanan likuiditas secara simultan, terdapat risiko efek domino yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Mengingat kompleksitas implikasi dan risiko tersebut, diperlukan pendekatan komprehensif dan terkoordinasi dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk manajemen bank, regulator, dan pemerintah, untuk mengelola risiko likuiditas dan menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. (*)