Jakarta – Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan pada akhir September lalu, setelah sebelumnya cukup stabil di kisaran Rpp13.300 sejak awal tahun. Kendati, masih dalam kisaran target pemerintah dan Bank Indonesia, nilai tukar rupiah secara absolut mengalami pelemahan sekitar 2% hanya dalam dua hari.
Pelemahan diduga sebagai akibat dari menguatnya mata uang USD setelah pengumuman reformasi perpajakan Amerika Serikat(AS), berupa pengurangan pajak korporasi dan insentif bagi repatriasi dana dari luar negeri. Reformasi perpajakan yang dilakukan AS ini memang telah lama dinantikan dan merupakan salah satu janji utama Presiden Donald Trump.
Di satu sisi, reformasi pajak AS ini memunculkan kekhawatiran terjadinya capital outflow dari negara berkembang untuk kembali ke AS.
Andrian Tanuwijaya, Portofolio Manager Equity, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia mengatakan, tren pergerakan mata uang USD akan mengikuti perkembangan rencana reformasi perpajakan AS tersebut. Ekspektasi pasar yang tinggi dapat segera berbalik arah kehilangan momentum jika reformasi ini gagal diimplementasi.
Sebelumnya, rencana reformasi layanan kesehatan untuk menggantikan Obamacare, gagal diimpelemntasikan oleh pemeirntah Trumph. Melihat hal tersebut, rencana reformasi perpajakan ini pun sepertinya akan menghadapi banyak tantangan dalam kongres.
“Ada faktor yang dapat membuat USD menguat, tapi cukup banyak pula yang dapat membuat USD berbalik arah kembali ke tren pelemahan yang terjadi sejak 1 tahun terakhir” imbuhnya.
Ancaman reformasi perpajakan dan kenaikan suku bunga adalah dua hal yang harus diwaspadai dapat berdampak pada capital outflow. Namun, disatu sisi, kondisi pasar negara berkembang saat ini jauh berbeda dengan 2013 ketika taper tantrum terjadi.
Secara siklus, ekonomi berkembang saat ini juga dalam fase pemulihan ekonomi. Berbeda dengan 2013 ketika mengalami perlambatan yang dipengaruhi oleh pengetatan moneter Tiongkok.
S
eperti negara bekrmebnag lainnya, Indonesia pun berada dalam fase tersebut. Indonesia memiliki ketahanan yang jauh lebih baik untuk mengadapi volatilitas mata uang USD dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini didukung oleh cadangan devisa yang tinggi, posisi surplus neraca perdagangan, dan defisit neraca berjaan yang terkendali.
Dari sisi kebijakan moneter, Andrian melihat adanya decoupling antara kebijakan moneter AS dengan negara berkembang. Biasanya, kebijakan moneter negara berkembang akan mengikuti arah kebijakan AS. Namun, dengan kondisi inflasi yang rendah di Asia dan makroekonomi yang stabil, kondisi ini memuka ruang bank sentral negara berkembang untuk melakukan pelonggaran moneter lebih lanjut jika dibutuhkan.
“Secara keseluruhan, risiko capital outflow dengan magnitude seperti 2014 kami raca cukup minim” pungkas Andrian.(*)