oleh Eko B. Supriyanto
BAK opera sabun. Terus saja berlanjut meski sebenarnya cerita sudah usai. Cerita itu soal Putusan Kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) yang harusnya sudah tamat. Mantan ketua BPPN itu divonis bebas dari segala tuntutan hukum terkail kebijakan SKL BDNI. Tidak ada cerita lagi. Tamat. Dan, cerita itu tetap dibikin lagi oleh KPK Periode Agus Rahardjo dkk yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Di mana kepastian hukum itu? Di mana kepastian berusaha itu jika cerita yang sudah tamat pun hidup kembali. Di mana dasar hukum dan keadilan bagi SAT sendiri?
Baru beberapa minggu dilantik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan Firli Bahuri sudah dihadapkan pada ujian profesionalisme karena masalah yang ditinggalkan KPK periode sebelumnya. KPK periode Agus Rahardjo ternyata mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan Kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang telah divonis lepas dari segala tuntutan hukum terkait keterlibatannya dalam kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Permohonan PK itu diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK pada tanggal
17 Desember 2019, tepat tiga hari sebelum pelantikan pimpinan KPK yang baru. Anehnya, langkah itu baru diumumkan kepada publik tiga minggu kemudian, tepatnya pada 9 Januari 2020, bertepatan pada hari sidang pertama pemeriksaan permohonan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ketika mendengar kabar ini, saya penasaran, masa sih lembaga penegak hukum sebesar KPK tidak punya ahli hukum yang paham tentang ketentuan pengajuan PK sampai melakukan tindakan inkonstitusional seperti ini?
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2014, jelas disebutkan bahwa Jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK, sekalipun atas masalah yang dianggap prinsipil. Pihak yang boleh mengajukan PK adalah Terdakwa/Terpidana. Surat Edaran itu juga dikuatkan oleh Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016 yang dibuat untuk mengakhiri perbedaan pendapat terkait siapa yang berhak mengajukan PK.
Putusan MK ini mengutip Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, tidak boleh dimaknai atau ditafsirkan lain. Putusan MK ini bersifat final dan mengikat sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 jo. UU No. 3 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Negara atau Jaksa jelas tidak memiliki hak untuk mengajukan PK. Oleh karena itu, permohonan PK yang diajukan oleh Jaksa KPK terkait putusan kasasi SAT merupakan tindakan melanggar hukum dan inkonstitusional.
Permohonan PK ini sekarang sedang dalam tahap pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri dan diperkirakan akan diputuskan dalam waktu 1 (satu) bulan, apakah permohonan itu akan diterima dan diteruskan ke Mahkamah Agung (MA) atau tidak.
Saran saya, pimpinan KPK yang baru Firli Bahuri seharusnya berani segera membatalkan pengajuan PK yang inkonstitusional ini untuk menyelamatkan muka KPK dan menjamin profesionalisme serta kepastian hukum di Indonesia. Jika dibiarkan, pengajuan PK ini akan menjadi preseden buruk bagi seluruh masyarakat Indonesia maupun investor dari luar negeri. Keputusan hukum di Indonesia seolah-olah bisa kehilangan legitimasi sewaktu-waktu.
KPK periode sebelumnya sepertinya memang tidak bisa move on dari kasus SAT dan BLBI sehingga sudi menghalalkan segala cara untuk mengejar SAT, meski dengan cara-cara yang ngawur. KPK yang baru mestinya jangan mengikuti gaya kepemimpinan Agus Rahardjo. Masyarakat Indonesia rindu pada KPK yang memahami hukum dan profesional. Sudah waktunya KPK move on.
Kepastian hukum dibutuhkan untuk kepastian investasi. Pengajuan PK oleh KPK yang tidak ada dasar hukumnya itu jujur mengganggu kepastian usaha di Indonesia. PK SAT menjadi preseden buruk dan tidak mengandung rasa keadilan dan mengganggu iklim investasi. (*)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Infobank