Jakarta — Bagi setiap perusahaan dan instansi, image atau nama baik dan reputasi tidak bisa dimungkiri menjadi salah satu pilar yang harus dijaga. Di industri perbankan bahkan, risiko reputasi menjadi salah satu risiko yang harus diperhatikan.
Seperti termaktub dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18 /POJK.03/2016 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, disebutkan ada 8 risiko yang harus diperhatikan dan dikelola oleh perbankan sebagai bentuk manajemen risiko. Kedelapan risiko tersebut antara lain risiko kredit; risiko pasar; risiko likuiditas; risiko operasional; risiko kepatuhan; risiko hukum; risiko reputasi; dan risiko stratejik. Jadi, sudah barang tentu reputasi memiliki tempat penting dalam eksistensi setiap institusi.
Terlebih, di era volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity (VUCA) terdapat perubahan dari berbagai aspek. Perubahan ini dapat mengubah cara praktisi humas (public relations/PR) dalam meningkatkan reputasi organisasi atau korporasi.
Praktisi humas perlu menyelaraskan strategi komunikasi mulai dari menyusun riset humas dalam organisasi dan menentukan strategi komunikasi dari hasil riset tersebut. Kemudian barulah strategi diimplementasikan kepada stakeholders melalui beberapa taktik.
AVP Komunikasi dan Relasi Korporasi di PT RNI (Persero) Fadhilah mengatakan, ada kiat tersendiri agar korporasi tetap eksis di era VUCA. Di era saat ini, corporate communications harus mampu memetakan stakeholders, “Di samping itu corporate communications harus meningkatkan taktik dalam kerangka komunikasi,” ujar wanita ber-nickname Dhila ini.
Dia menilai, semua hal tersebut untuk mencapai objektif komunikasi yang sudah ditetapkan di awal. Lebih lanjut, lulusan magister London school of Public Relations Communications and Business Institute ini menuturkan, kemampuan komunikasi perusahaan dalam memetakan stakehokders sangat bervariasi.
Mulai dari mengklasifikasikan stakeholders prioritas seperti menentukan dormant, discretionary, dominant, depended hingga dangerous stakeholders. “Jika korporasi bergerak di sektor perbankan, setiap komunikasi perusahaan dalam organisasi dapat mengklasifikasikan siapa yang menjadi power stakeholders,” tutur praktisi PR dengan jam terbang lebih dari 15 tahun ini.
Dari pengalaman tersebut, 10 tahun di antara pengalamannya adalah sebagai komunikasi perusahaan di Bumiputera Group mulai Maret 2005 hingga Desember 2015; 3 tahun di Kresna Financial Group periode Desember 2015 hingga Maret 2019; dan Head of Corporate Communication di BUMN sektor Perikanan PT Perikanan Indonesia pada periode Maret 2019 hingga April 2021. Namun sejak April tahun 2021, Dhila bertugas sebagai AVP Komunikasi dan Relasi Korporasi di PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero).
“Di sisi lain, jika korporasi berada di sektor pangan, praktisi komunikasi perusahaan harus mampu menentukan klasifikasi berdasarkan urgency stakeholders,” sambungnya.
Terpaan pandemi pun menambah tantangan PR dalam mempertahankan reputasi perusahaan, Dia mengatakan, corporate communication harus mampu menjaga hubungan dengan para stakeholders, mempersiapkan crisis center dan crisis communication plan sebagai bentuk mitigasi setiap risiko yang muncul. “Mitigasi ini untuk menentukan apakah krisis komunikasi tersebut masuk dalam kategori low hazard, medium hazard atau high hazard,” tandas Dhila. (*)