Dalam menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia menilai perlu memperketat kebijakan yang dinilai memberatkan industri. Paulus Yoga
Jakarta–Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) terkait transaksi harus menggunakan mata uang Rupiah di dalam negeri dinilai kurang pas karena kondisi perekonomian dan pelemahan Rupiah saat ini.
Ekonom Senior Eric Sugandi mengatakan, PBI ini diterapkan di kala ekonomi melambat jadi memukul perusahaan-perusahaan yang biasa bertransaksi dengan Dolar Amerika Serikat (USD). Terlebih, aturan yang mengharuskan transaksi dalam Rupiah akan memberikan tambahan biaya mengingat nilai tukar Rupiah yang sedang tertekan.
“Policy (kebijakan) ini dikeluarkan untuk membuat Rupiah menjadi mata uang yang digunakan secara maksimal di Indonesia,” tukas Eric dalam diskusi yang digelar Standard Chartered Bank Indonesia dengan tema “Building Rupiah Stability” di Jakarta, Kamis, 10 September 2015.
Sebagaimana diketahui nilai tukar Rupiah terus melemah beberapa waktu belakangan. Kurs tengah Bank Indonesia mencatat nilai tukar Rupiah terhadap USD di level Rp14.244 pada perdagangan kemarin, dan sampai siang ini melemah ke level Rp14.322.
Sementara Presiden Direktur PT Pan Brothers Tbk, Anne Patricia Sutanto mengeluhkan kebijakan yang dikeluarkan oleh bank sentral tersebut, karena dinilai akan memberikan tambahan biaya bagi pihaknya yang bergerak di industri garment atau tekstil. Sedangkan, lanjutnya, persaingan di antara perusahaan sendiri terus berlangsung yang bahkan sampai ke tataran ASEAN bahkan dunia.
“Ini (PBI 17) ini bukan solusi ke korporasi secara keseluruhan karena kita harus melawan kompetitor skala dunia. Bagaimana harus semakin efisien,” cakapnya.
Aturan ini sendiri dikeluarkan oleh Bank Indonesia dengan melihat perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik, yang dinilai menimbulkan tantangan terhadap upaya pencapaian tujuan bank sentral dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah yang salah satunya tercermin dari stabilitas nilai tukar Rupiah.
Salah satu tantangan yang muncul adalah adanya ketidakseimbangan supply-demand di pasar valuta asing domestik di tengah tingginya tekanan terhadap nilai tukar negara-negara emerging. Tantangan ini menyebabkan diperlukannya kebijakan di pasar valuta asing domestik untuk menahan dampak dari ketidakseimbangan tersebut melalui upaya untuk mendorong permintaan valuta asing yang sehat dengan tetap mendukung aktivitas ekonomi pelaku pasar.
“Semakin stabil mata uang pastinya akan lebih baik. PBI 17 ini bagus tapi timing-nya memang saat kondisi ekonomi seperti ini yang sepertinya tidak pas,” sambung Managing Partner Transaction Advisory Services Erns & Young Indonesia, David Rimbo. (*)