Tiga Kunci untuk Lolos dari Jeratan Pinjol Ilegal

Tiga Kunci untuk Lolos dari Jeratan Pinjol Ilegal

Oleh Mudrajad Kuncoro, Guru Besar Ilmu Ekonomi pada Sekolah Vokasi UGM, Rektor Universitas Trilogi (2019-2022)

PINJAMAN online (pinjol) menjadi perbincangan luas, mulai dari seminar-seminar nasional hingga perbincangan di warung-warung Tegal (warteg). Pinjol makin marak, meresahkan, dan kerap memunculkan cerita pilu. Kejadian tragis di Tangerang Selatan, Banten, yaitu seorang pria membunuh anak dan istrinya lalu bunuh diri karena terlilit utang pinjol, adalah salah satu kisah pilu akibat pinjol.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Desember 2023 menunjukkan, 18,07 juta orang di Indonesia terjerat pinjol. Publik pun bertanya, apa bedanya pinjol ilegal dengan pinjol yang terdaftar (pindar)? Apakah pinjol sama dengan fintech? Apa reformasi pengawasan yang perlu dilakukan pihak otoritas terkait, dalam hal ini OJK, untuk meminimalkan risiko nasabah terjerat pinjol?

Pinjol legal, atau disebut pindar, adalah pinjol yang terdaftar di OJK. Kelebihan pindar adalah jika seseorang membutuhkan dana mendadak tak perlu pakai agunan. Pengguna hanya perlu mengunduh aplikasi, memasukkan data pribadi sesuai dengan KTP, swafoto, dan memberikan dua kontak keluarga/teman, maka dana yang dibutuhkan pun cair dalam hitungan menit.

Pindar berbeda dengan pinjol ilegal yang tidak terdaftar di OJK. Pinjaman di pinjol ilegal umumnya kurang dari satu tahun. Bunga lebih tinggi daripada pindar dan bank. Selain itu, limit pinjaman rendah, dan menggunakan penagih utang jika peminjam menunggak cicilan.

Baca juga: Jangan Asal Pinjam! Ini Daftar 96 Pindar Resmi Berizin OJK per Juni 2025

Samakah Pinjol dengan Fintech?

Fintech (financial technology) adalah istilah luas yang mencakup inovasi teknologi untuk mengotomatisasi penyampaian dan penggunaan layanan keuangan. Susanne Chishti dan Janos Barberis, dalam buku The FINTECH Book (2016), menjelaskan, fintech sebagai gelombang baru inovasi teknologi perusahaan yang mengubah cara orang membayar, mengirim uang, meminjam, meminjamkan, dan berinvestasi.

Fintech mencakup berbagai layanan dan aplikasi, mulai dari pembayaran digital (e-wallet, QRIS, GoPay, OVO), pinjaman online (pinjol) atau P2P lending, investasi digital (Bibit & Bareksa untuk reksa dana online), saham online (Stockbit), P2P lending untuk investasi, asuransi digital (Lifepal), crowdfunding (Kitabisa.com), hingga blockchain dan aset kripto.

Pinjol merupakan salah satu jenis fintech yang berfokus pada layanan pemberian pinjaman uang secara online. Di Indonesia, pinjol sering disebut fintech pendanaan bersama (FPL) atau peer-to-peer lending (P2P lending). FPL adalah platform yang mempertemukan pemberi pinjaman dengan peminjam secara langsung melalui platform digital. Prosesnya lebih cepat dan mudah diakses dibandingkan dengan pinjaman bank tradisional karena menggunakan penilaian kredit berbasis data digital.

Jumlah FPL yang terdaftar dan berizin OJK cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir karena OJK mencabut izin platform bermasalah dan sangat selektif dalam memberikan izin baru. Per Mei 2025, jumlah pindar yang terdaftar dan berizin di OJK tersisa 96 perusahaan. Akumulasi penyaluran dana FPL menunjukkan peningkatan signifikan, dengan nilai Rp50 triliun-Rp70 triliun sepanjang 2024.

Ini menunjukkan tingginya pertumbuhan permintaan dan ekspansi layanan pindar. Angka untuk pinjol ilegal tidak dapat dipastikan, namun diperkirakan jauh lebih banyak dengan risiko sangat tinggi. Sejak 2018, OJK dan Satgas Pemberantasan Investasi Ilegal (SPII) gencar memblokir ribuan entitas pinjol ilegal.

Regulatory Sandbox

OJK menggunakan konsep regulatory sandbox untuk menguji model bisnis fintech baru, seperti laboratorium terkontrol untuk inovasi. Acuannya adalah Peraturan OJK (POJK) Nomor 3 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan. Namun, pendekatan ini belum sepenuhnya efektif karena prosesnya bisa memakan waktu, dan tidak semua inovasi fintech masuk sandbox sebelum beroperasi.

Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Lembaga Jasa Keuangan (SAF LJK) makin menegaskan pentingnya regulatory sandbox dalam ekosistem keuangan yang dinamis dan membawa risiko fraud. POJK Nomor 12 Tahun 2024 tentang SAF LJK lahir sebagai respons OJK terhadap tingginya potensi dan insiden fraud di sektor jasa keuangan. POJK SAF LJK adalah bukti upaya OJK memperkuat kerangka regulasi untuk mencegah fraud, namun implementasinya memerlukan kapasitas pengawasan yang memadai.

Reformasi pengawasan yang perlu dilakukan OJK untuk meminimalkan risiko nasabah terjerat pinjol perlu menggunakan tiga pilar. Pertama, reformasi regulasi yang proaktif. Sektor fintech bergerak sangat cepat, sementara proses pembentukan regulasi jauh lebih lambat. Kesenjangan ini menciptakan celah bagi praktik ilegal, penipuan, atau model bisnis yang merugikan konsumen. Meskipun OJK gencar memblokir pinjol ilegal dan menerima ribuan aduan, tingginya angka ini mengindikasikan bahwa pengawasan preventif, atau deteksi dini, masih memiliki celah.

OJK perlu mengembangkan kerangka regulasi yang lebih proaktif dan adaptif terhadap inovasi, bukan hanya reaktif setelah masalah muncul. Ini bisa melibatkan principles-based regulation, misalnya perumusan regulasi untuk fintech baru atau revisi aturan bunga/biaya yang lebih dinamis. OJK perlu mengusulkan aturan turunan yang lebih terperinci dari UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) khusus untuk LJK dan fintech, serta memperketat sanksi bagi pelanggaran data untuk melindungi privasi nasabah.

Kedua, reformasi aspek kapasitas pengawasan OJK. Mengawasi pinjol dan pindar memerlukan keahlian khusus di bidang teknologi, keamanan siber, analitik data, dan model bisnis baru. OJK masih menghadapi keterbatasan dalam jumlah dan kualitas SDM pengawas yang menguasai teknologi ini dibandingkan dengan kompleksitas dan volume pelaku pasar. Kurangnya kapasitas dapat menyebabkan pinjol bermasalah lolos dari pengawasan awal atau lambatnya deteksi anomali transaksi.

Pengembangan program pelatihan ekstensif dan berkelanjutan, serta program sertifikasi khusus fintech bagi pengawas, juga penting. Kolaborasi dengan tim ahli dari akademisi dan praktisi teknologi, serta dengan kepolisian (cyber crime), kejaksaan, Komdigi (pemblokiran situs/aplikasi ilegal), dan Bappebti (untuk kripto) dalam penanganan pinjol ilegal, juga perlu diperkuat untuk menjamin penindakan hukum yang cepat.

Baca juga: Warga RI Makin Gemar Utang di Pindar dan Paylater, Ini Buktinya

Ketiga, reformasi aspek edukasi dan perlindungan konsumen. Peningkatan literasi keuangan digital yang agresif dan tepat sasaran amat diperlukan. OJK perlu meluncurkan kampanye edukasi berkelanjutan yang tidak hanya menjelaskan tentang pinjol legal dan ilegal, tapi juga risiko bunga tinggi, bahaya gagal bayar, cara membaca manfaat ekonomi, dan hak-hak konsumen.

Edukasi mengenai perbedaan pinjol legal dan ilegal juga harus diperkuat. Kampanye harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan disampaikan melalui berbagai kanal untuk mengedukasi masyarakat agar mampu membuat keputusan keuangan yang cerdas dan terhindar dari jebakan pinjol. Mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa oleh OJK juga perlu diperkuat.

OJK perlu terus memperbarui dan memublikasikan daftar pinjol legal secara real-time dan mudah diakses, serta memublikasikan kasus-kasus pelanggaran pinjol sebagai pembelajaran. Sistem pengaduan konsumen di OJK juga perlu ditingkatkan agar mudah diakses, responsif, dan memberikan tindak lanjut yang jelas.

Dengan implementasi reformasi pengawasan yang holistis ini, diharapkan OJK dapat mengurangi risiko nasabah terjerat pinjol ilegal secara signifikan, menciptakan lingkungan keuangan digital yang lebih aman, tepercaya, dan kondusif. (*)

Related Posts

News Update