Jakarta—PT BRI Multifinance Indonesia (BRI Finance) sudah menyiapkan sejumlah strategi penerapan manajemen risiko guna menghadapi kondisi ekonomi pada 2023 yang diproyeksikan lebih menantang. BRI Finance berharap portofolio pembiayaan terkelola secara baik dengan target non performing financing (NPF) di bawah 2,5%.
Ekonomi nasional dihadapkan pada beberapa tantangan ke depan yang timbul karena ketidakpastian ekonomi global. Di antaranya, inflasi global yang tinggi dan direspons bank sentral di berbagai negara termasuk di Tanah Air dengan kenaikan suku bunga, serta ancaman krisis pangan dan energi yang diakibatkan oleh konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
Awal November lalu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar meminta industri jasa keuangan termasuk multifinance menerapkan prinsip kehati-hatian. Langkah tersebut diharapkan menjadi mitigasi risiko dalam menghadapi kondisi pasar yang berfluktuasi, terlebih adanya potensi resesi ekonomi global ke depan.
Terkait hal tersebut, Direktur Manajemen Risiko BRI Finance Ari Prayuwana menjelaskan sebenarnya pihaknya sudah melakukan langkah antisipasi sejak awal pandemi pada 2020 lalu. Sebab, Perseroan ingin tumbuh cepat dengan kualitas yang positif melalui tata kelola yang baik.
Hal itu pun terlihat dari NPF Perseroan dengan kualitas terjaga, di mana hingga kuartal III/2022 tercatat 1,98%. Persentase tersebut lebih baik dari NPF industri yaitu 2,58% pada periode yang sama. Adapun hingga akhir tahun ini BRI Finance mematok target NPF gross sekitar 2,1% sedangkan tahun depan di level 2,2%.
Sebagai komitmen terhadap kualitas aset yang dimiliki, BRI Finance senantiasa melakukan panjagaan ketat atas rasio NPF. Tujuannya untuk menanggulangi potensi risiko dari kondisi ekonomi yang fluktuatif.
Perseroan telah menyiapkan strategi. Pertama, menerapkan robust risk management, tujuannya adalah menjaga kualitas portofolio pembiayaan yang menjadi prioritas. Ari merinci lebih lanjut, membangun manajemen risiko yang kuat melalui penerapan proses pembiayaan yang sehat, dengan diterapkannya proses ketat yang harus diikuti oleh relationship manager (RM). Hal itu membuahkan hasil dengan NPF yang terus menurun dari 2020 sebesar 4,22%.
BRI Finance juga telah menerapkan credit risk scoring untuk mempercepat proses pengambilan keputusan pembiayaan. Dalam kerangka manajemen risiko, Perseroan pun membangun perangkat proteksi dini atau early warning system untuk portofolio di level unit kerja dan individu untuk menjaga kualitas aset.
Kedua, BRI Finance fokus pada kualitas pembiayaan melalui penerapan selective growth. Perseroan membuat kebijakan bahwa yang boleh dibiayai adalah sektor-sektor yang potensi risikonya rendah, serta debitur-debitur yang bagus.
Ketiga, pihaknya melakukan switching portofolio dari mayoritas pembiayaan komersial, kini beralih ke segmen konsumer yang lebih ritel. Alhasil, risiko per debitur lebih rendah. Harapannya BRI Finance akan tumbuh secara berkelanjutan.
Keempat, fokus kepada funding stability dan sustainability dengan menjaga kepercayaan kreditur. Kelima, melakukan transformasi dan konsisten dalam digitalisasi business process, yaitu dalam rangka memperoleh efisiensi sehingga mampu menekan biaya operasional.
“Kami akan tumbuh dan prosesnya yang kami digitalisasi. Barangkali itu yang kami lakukan. Jadi apa yang kami lakukan selaras dengan himbauan OJK, di mana kami sangat mendukung dan menerapkan lebih awal sejak 2020,” tuturnya.
Sejalan dengan strategi di atas, Ari pun menggarisbawahi bahwa dalam proses menguatkan manajemen risiko, top management BRI Finance menyasar dua hal utama. Pertama, sumber daya manusia risk management di kantor pusat, karena harus membuat guidance bagi RM di lapangan untuk berlari kencang.
Kedua, memperkuat RM dengan risk culture, di mana RM harus bisa memastikan data yang digali terkait debitur harus valid. Sehingga apa yang didesain oleh manajemen risiko itu bisa bekerja dengan baik.