Jakarta – Pelaku industri multifinance menyoroti sejumlah hal dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Paling tidak ada dua hal utama yang disorot, yakni soal keharusan pinjam meminjam dalam mata uang rupiah, dan larangan WNA menjadi pengurus multifinance.
Ketua Umum Asoasiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno mengatakan, salah satu yang menjadi sorotan pelaku industri adalah pasal yang berbunyi “Kegiatan menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet kepada masyarakat”.
Selama ini, kata dia, sejumlah industri multifinance sebenarnya sudah lumrah mendapatkan pinjaman dari luar negeri dalam bentuk mata uang asing. Namun dalam penyaluran pinjamannya di dalam negeri tentu dalam rupiah.
Apalagi selama ini banyak investor asing yang tertarik berninvestasi ke bisnis multifinance di dalam negeri. Jika klausul dalam draft RUU P2SK tersebut lolos, dkhawatirkan malah menjadi langkah mundur bagi industri multifinance. Pelaku industri malah makin sulit mendapatkan pendanaan (funding), apalagi di tengah ketatnya pinjaman dari perbankan dalam negeri.
“Tadi disampaikan bahwa banyak investor asing yang tertarik. Sebenarnya yang diharapkan adalah bagaimana investor asing ini masuk, tapi bukan masuk dalam kompetisi itu malah menambah beban bagi masyarakat. Kalau bisa mendapatkan dana murah dari luar, artinya ini malah bisa membuat kami-kami harus bekerja secara efisien. Yang di dalam negeri, kalau dapat pinjaman dari dalam negeri untuk bagaimana kita bisa bersaing dalam pembiayaan. Pembiayaan tetap dalam rupiah memang. Itu yang diwajibkan oleh pemerintah, bahwa walaupun asing dalam bentuk dollar, yen atau apapun juga mata uangnya, sudah diatur melalui Bank Indonesia dan dilanjutkan oleh OJK bahwa semua harus di-hedging. Full hedging. supaya tidak ada risiko kenaikan nilai tukar. Itu sudah berjalan normal. Teman-teman di perusahaan pembiayaan yang mendapatkan pinjaman dari luar negeri pasti melakukan hedging. Jangan sampai klausal ini menghambat kita, sehingga kita sulit untuk mendapatkan pendanaan tersebut,” ujar Suwandi dalam Executive Multifinance Forum yang digelar Infobank dengan tema “Tantangan dan Masa Depan Perusahaan Pembiayaan di Tengah Ancaman Resesi Global” Kamis, 15 September 2022.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi mengatakan, RUU P2SK masih terbuka untuk didiskusikan. Minggu depan, rencananya DPR akan mensahkan RUU tersebut sebagai inisiatif DPR, kemudian dikirim ke pemerintah untuk dibahas. Setelahnya nanti DPR bersama pemerintah akan melakukan pembahasan bersama. DPR RI menargetkan UU P2SK dapat dituntaskan di akhir 2022.
“Banyak isu yang saya kira harus kita cermati. Sebelum kita rumuskan kita akan undang seluruh stakeholder. APPI juga akan kita undang. Himbara kita undang. Kita akan matangkan lagi. Ini kan inisiatif DPR, kita belum terima draft dari pemerintah. Kan sebenarnya ada 2 pihak, karena omnibuslaw sektor keuangan ini inisiatif DPR, dari pemerintah nanti kita tunggu bagaimana formulanya,” kata Fathan.
Fathan sepakat, akan menjadi langkah mundur bagi industri bila hal-hal yang disoroti pelaku industri multifinance tersebut lolos, termasuk soal larangan WNA menjadi pengurus. Hal itu termasuk dalam satu ayat dalam pasal 72 RUU P2SK. Bunyinya “Kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f hanya dapat dilakukan melalui transaksi di pasar modal, dalam kapasitas tertentu, dan tidak diperkenankan sebagai pengurus perusahaan”.
“Saya kira memang langkah mundur kalau WNA dilarang menjadi pengurus. Ini saya kira ada kekhawatiran. Tapi sebetulnya bisa kita cegah. Kita akan konsolidasikan dengan beberapa fraksi-fraksi di DPR. Ini kan masih draft awal,” pungkasnya. (*) Ari Astriawan