Instrumen Quota Share dan LPT Jadi Solusi Efisien
Instrumen seperti Quota Share (QS) dan Loss Portfolio Transfer (LPT) disebut sebagai instrumen strategis dalam menjaga stabilitas keuangan perusahaan.
Quota Share memberikan keringanan modal secara bertahap melalui pembagian risiko premi dan klaim, sementara Loss Portfolio Transfer menawarkan dampak instan dengan memindahkan klaim eksisting ke reasuradur, sehingga memberikan ruang modal baru pada neraca perusahaan.
Secara global, transaksi retrospective deals seperti LPT telah menjadi praktik umum di Eropa dan Amerika Serikat dalam manajemen modal perusahaan asuransi. Tren serupa kini mulai berkembang di Asia, termasuk Indonesia, meskipun masih memerlukan edukasi lebih lanjut bagi regulator maupun pelaku industri.
Namun, strategi risk transfer tidak hanya berhenti pada instrumen keuangan. Roshan menekankan pentingnya faktor manusia dan infrastruktur teknologi dalam keberhasilan implementasi strategi tersebut.
“Seminar, asosiasi industri, hingga kolaborasi dengan regulator hanya akan efektif jika didukung oleh talenta yang mumpuni dan infrastruktur teknologi yang tepat,” jelasnya.
“Solusi yang dulu dianggap non-tradisional kini justru menjadi arus utama. Dengan mekanisme ini, perusahaan dapat menjaga pertumbuhan bisnis tanpa mengorbankan ketahanan modalnya,” tutup Roshan.
Baca juga: Kantongi Restu OJK, Askolani Resmi Duduki Kursi Komisaris PT SMI
Dari perspektif regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan pentingnya pemanfaatan reasuransi untuk memperkuat permodalan.
Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Iwan Pasila, mengatakan bahwa industri asuransi dan reasuransi tidak hanya memberikan proteksi, tetapi juga berperan sebagai investor institusional dengan aliran dana jangka panjang bagi perekonomian.
“Pengaturan reasuransi untuk meredakan tekanan modal pada produk baru itu perlu. Ini bagian dari dorongan kami agar manajemen risiko dijalankan dengan benar, sekaligus menjaga ketahanan perusahaan di bawah kerangka RBC dan IFRS 17,” ujarnya.
OJK menyoroti risiko katastrofik akibat bencana alam, mortalitas pasca pandemi, hingga risiko siber yang semakin canggih.
Dalam konteks ini, pemanfaatan instrumen risk transfer menjadi vital untuk mengurangi tekanan modal (capital strain) sekaligus mendukung kepatuhan terhadap IFRS 17 yang menuntut transparansi lebih tinggi dalam pencatatan aset dan liabilitas.
Kunci Transformasi: Tata Kelola, SDM, dan Digitalisasi
Iwan menambahkan, tata kelola (governance), kualitas SDM, dan digitalisasi infrastruktur merupakan kunci transformasi ekosistem asuransi Indonesia. Tanpa fondasi tersebut, penerapan regulasi maupun pemanfaatan reasuransi tidak akan berjalan optimal.
Dengan tingkat penetrasi asuransi Indonesia yang masih rendah, tantangan industri tidak hanya mempersempit protection gap, tetapi juga menjaga ketahanan modal agar mampu menopang pertumbuhan jangka panjang.
Dalam kerangka itu, reasuransi modern bukan lagi sekadar mekanisme proteksi, melainkan pilar strategis untuk menjaga solvabilitas, memperluas kapasitas, dan memperkuat keberlanjutan industri perasuransian nasional. (*) Alfi Salima Puteri









