Diding S. Anwar
INDIA dan Indonesia memiliki ikatan sejarah yang panjang. Pada 1946 atau setahun setelah merdeka dan aktivitas perekonomiannya masih diblokade oleh Belanda, Indonesia mampu menawarkan bantuan 500.000 ton beras kepada India. Belajar dari pengalaman krisis pangan yang dialaminya, India kemudian memberi perhatian khusus di bidang pertanian. Pemerintah India pun melancarkan program Revolusi Hijau pada 1974 yang dilanjutkan dengan munculnya Kebijakan Pertanian Nasional pada 2000 untuk meningkatkan produksi pertanian. Sejalan dengan kebijakan untuk meningkatkan produksi pertaniannya, pemerintah juga berusaha menyejahterakan petani dan lahirlah undang-undang (UU) tentang sistem resi gudang (SRG).
Kini, situasinya pun berubah. Akhir September lalu saya melihat langsung bagaimana sektor pertanian di India begitu maju, sistem logistik yang modern dan terintegrasi dalam suatu value chain, serta adanya dukungan pembiayaan. India tidak saja berhasil memenuhi kebutuhan pangan bagi 1,28 miliar penduduknya, tapi menjadi salah satu lumbung pangan dunia. Bersama Thailand dan Vietnam, India memasok 60% perdagangan beras di bumi ini. Di luar padi, India juga memproduksi beberapa produk pangan, seperti gandum, jagung, tebu, kapas, minyak biji-bijian, dan nutrisereal. Kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) di India menyamai kontribusi sektor manufaktur, yaitu sebesar 17%.
Sementara, Indonesia yang pernah menyumbang beras kepada India, sektor pertaniannya baru menyumbang 13% terhadap PDB. Itu pun didominasi oleh subsektor perkebunan. Indonesia juga harus mengimpor sejumlah komoditas pangan, termasuk beras untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi 250 juta jiwa penduduknya. Ini menjadi tantangan bagi Indonesia yang memiliki pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun.
Apabila kita mengidentifikasi sektor pertanian Indonesia, masalahnya sudah jelas. Kegiatan usaha pertanian terhambat oleh minimnya prasarana dan irigasi, ketersediaan dan mahalnya harga pupuk, rendahnya harga hasil pertanian, logistik dan jalur distribusi yang tidak merata, serta permodalan. Research and development yang ada pun jumlahnya terbatas dan tidak diperkenalkan ke para petani. Alih fungsi lahan terus terjadi dan bidang pertanian makin tidak menarik karena tidak menjanjikan kesejahteraan yang memadai. Generasi muda yang diharapkan bisa melanjutkan kegiatan produktif di sektor pertanian pun enggan “turun” ke sawah. Apalagi, dari 26,1 juta rumah tangga usaha pertanian yang ada Indonesia, 56% di antaranya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare. Dengan luasan yang marjinal dan di bawah skala keekonomian, petani pun kesulitan mengakses permodalan. (Bersambung)