Program Restrukturisasi Kredit Bantu Kelangsungan Usaha UMKM di Masa Pandemi

Program Restrukturisasi Kredit Bantu Kelangsungan Usaha UMKM di Masa Pandemi

Jakarta – Program restrukturisasi kredit oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diberlakukan selama pandemi Covid-19 telah mempercepat pemulihan ekonomi dan memberikan ruang gerak bagi perbankan dan debitur terdampak pandemi, terutama usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

“Program restrukturisasi kredit dapat menjaga kelangsungan UMKM. Momentum pertumbuhan ekonomi telah berjalan dengan baik,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan dan UMKM, Kemenko Perekonomian, Mohammad Rudy Salahuddin dalam Webinar Forum Diskusi Salemba ke-85 dikutip 10 November 2022.

Dia mengungkapkan, UMKM adalah motor penggerak atau critical engine bagi perekonomian Indonesia. Mengutip, data Kementerian Koperasi dan UKM, Rudy mengatakan saat ini ada 64,2 juta UMKM tercatat di Indonesia atau 99% dari keseluruhan unit usaha.

Kontribusi UMKM terhadap PDB, ujarnya, mencapai 60,51% atau senilai Rp9.580 triliun. UMKM menyerap 120,59 juta tenaga kerja, nilai investasi 60,42% dari total investasi, mengisi 15,65% ekspor non-migas, serta 24% pelaku UMKM telah memanfaatkan e-commerce.

Namun, jelasnya, akibat pandemi Covid-19, sebanyak 19,45% UMKM menghadapi kesulitan modal, sekitar 18,87% produksi terhambat, 23,10% membukukan penurunan penjualan, 19,08% kesulitan bahan baku dan sebanyak 19,50% terhambat distribusi.

Untuk keluar dari persoalan itu, ujarnya, dari total UMKM di Indonesia, sebanyak 29,98% telah menggunakan fasilitas relaksasi atau penundaan pembayaran kredit. Sekitar 17,21% memanfaatkan fasilitas kemudahan administrasi untuk pengajuan pinjaman.

Selain itu, sejak pandemi sekitar 69,02% UMKM telah mendapatkan bantuan modal usaha, sebanyak 41,18% mendapatkan keringanan tagihan listrik untuk usaha, serta 15,07% UMKM menunda pembayaran pajak.

“Dengan dukungan regulasi dan kemampuan UMKM keluar dari krisis, sebanyak 84,8% UMKM sudah kembali beroperasi normal dibandingkan pada tahun 2020,” terangnya.

Seperti diketahui, restrukturisasi kredit dan pembiayaan diberlakukan sejak Maret 2020 melalui POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-2019. Kemudian, diperpanjang hingga Maret 2022, dengan penerbitan POJK Nomor 48/POJK.03/2020 tentang Perubahan Atas POJK Nomor 11/POJK.03/2020.

Lebih jauh, Rudy menyebutkan outstanding restrukturisasi kredit per September 2022 telah mencapai Rp519,64 triliun. Angka ini berkurang sebesar Rp23,81 triliun dari bulan sebelumnya. Sedangkan, penerima restrukturisasi kredit per September 2022 mencapai 2,63 juta nasabah, turun dari bulan sebelumnya yang sebanyak 2,75 juta nasabah.

“Dengan adanya program restrukturisasi, penyaluran kredit ke UMKM terus meningkat menjadi Rp1.275,03 triliun atau tumbuh 16,75% (yoy). Tingkat NPL terjaga, yaitu pada April 2022 di level 4,38%. Lebih rendah dibandingkan April 2021 di posisi 4,41%,” paparnya.

Dengan dukungan kelangsungan UMKM, ujarnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatatkan kinerja positif. Ekonomi tumbuh impresif, yaitu sebesar 5,72% (yoy) pada Kuartal III/2022. Neraca perdagangan terus mencatatkan kinerja positif.

Di tempat yang sama, Senior Executive Vice President (SEVP) Bisnis Bank BJB, Beny Riswandi, menambahkan pandemi Covid-19 berdampak negatif pada sektor UMKM yang menyebabkan para pelakunya harus beradaptasi, antara lain dengan menurunkan produksi, serta mengurangi jam kerja karyawan dan saluran penjualan.

Namun, jelasnya, dengan pemberian stimulus perbankan (restrukturisasi), keberlangsungan usaha masih dapat tetap terjaga, meskipun secara performance usaha masih di bawah kondisi normal. Bagi debitur, relaksasi kredit membantu percepatan pemulihan kondisi usaha.

“Dengan restrukturisasi stimulus Covid kepada debitur yang terdampak kualitas portofolio kredit bank tetap terjaga. Relaksasi membantu penerapan selective selling dalam penyaluran kredit. Pada akhirnya, membantu percepatan pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal mengemukakan, sejalan dengan perbaikan ekonomi setelah pandemi, regulator perlu melakukan penyesuaian rencana pengurangan insentif sebagai bagian dari normalisasi kebijakan pada 2023.

Dia menilai perlu diterapkan skala prioritas pada sektor-sektor belum sepenuhnya pulih dan yang rentan terkena dampak guncangan ekonomi global, khususnya sektor padat karya yang banyak mengandalkan pasar ekspor, seperti tekstil dan produk tekstil, industri alas kaki.

“Prioritas insentif dipertahankan pada sektor-sektor yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi, seperti transportasi dan akomodasi. Akibat lonjakan inflasi dan tekanan permintaan global, insentif baru juga diperlukan pada sektor-sektor yang rentan,” tambah Faisal.

Seperti diketahui, saat ini OJK sedang mematangkan rencana untuk memperpanjang program restrukturisasi kredit di tahun 2023. Rencananya, kebijakan perpanjangan restrukturisasi ini akan menyasar pada sektor dan wilayah tertentu yang masih terdampak pandemi Covid-19.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani mengatakan, program restrukturisasi kredit memang sangat dibutuhkan dunia usaha untuk keluar dari dampak pandemi.

Dia menilai fasilitas ini menopang peningkatan penyaluran kredit UMKM, sejalan dengan pemulihan kegiatan usaha. Kredit investasi pada April 2022 tumbuh 13% (yoy), sementara kredit modal kerja tumbuh 18,2% (yoy) pada periode yang sama.

Ke depan, Ajib mengatakan sejalan dengan pemulihan ekonomi, dalam roadmap kebijakan UMKM periode 2019 hingga 2024 Apindo mendorong penguatan jaringan kemitraan untuk memperluas akses informasi, best practices atau pengetahuan, modal dan pembiayaan, standardisasi produk, kelembagaan bisnis, serta pasar bagi UMKM.

Apindo, lanjut dia, merekomendasikan adanya sebuah acuan Credit Scoring System (CSS) yang terintegrasi untuk dapat dilakukan instant approval atas suatu pengajuan kredit, dapat mengolah keseluruhan data-data tersebut dalam big data dengan menggunakan AI, sehingga output yang dihasilkan oleh sistem dari waktu ke waktu akan semakin akurat.

“Pemberian KUR perlu dipertajam pada wirausahawan UMKM yang inovatif dan produktif, terutama yang berorientasi ekspor. Artinya segmen UMKM eksportir yang inovatif dan produktif ini harus lebih besar dibandingkan segmen sektor jasa,” ungkapnya.

Saat membuka acara, Mohammad Jibriel Avessina, Ketua Forum Diskusi Salemba ILUNI UI, mengatakan kebijakan pro-terhadap UMKM sangat dibutuhkan. Untuk itu, Forum Diskusi Salemba sangat mendukung adanya regulasi yang menopang usaha kecil, sehingga UMKM bisa menjadi penggerak kegiatan ekonomi Indonesia. (*)

Related Posts

News Update

Top News