Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital (ISED)
SAAT ini para pengambil kebijakan di seluruh dunia tidak lagi hanya terfokus pada langkah bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, dalam menetapkan kebijakan di negaranya. Ada beberapa variabel lain yang juga harus dikalkulasi, misalnya penuntasan masalah pandemi COVID-19 yang masih membayangi beberapa negara (terutama Tiongkok), tensi geopolitik di Eropa pasca-agresi Rusia ke Ukraina yang konon masih jauh dari selesai, melambungnya harga sektor energi dan pangan, dan adanya gejala deglobalisasi atau fragmentasi kekuatan ekonomi.
Kini memang ada lebih banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dan tidak hanya terfokus pada kebijakan The Fed yang tengah berjuang keras melawan inflasi. Ketidakcermatan para pengambil kebijakan dalam melakukan asesmen menyeluruh dari berbagai faktor yang disebutkan di atas akan berdampak serius pada proses pemulihan ekonomi di masing-masing negara.
Hal yang pasti, lonjakan inflasi hampir di seluruh dunia telah direspon bank-bank sentral di setiap negara dengan menaikkan suku bunga acuan sebagai strategi normalisasi kebijakan. Rentang akumulasi kenaikannya pun terbilang agresif, berkisar 50 basis poin (bps) hingga 225 bps.
Kenaikan terbesar untuk negara maju terjadi di AS ketika The Fed menaikan suku bunga acuan sebesar 225 bps sejak Maret hingga Juli lalu. Langkah tersebut diperkirakan masih berlanjut pada pertemuan-pertemuan pengambil kebijakan berikutnya, meskipun level agresivitasnya berkurang.
Langkah luar biasa tersebut dilakukan untuk menahan laju inflasi yang sempat melambung tinggi hingga menyentuh level 9,1% (Juni) dan kini sudah melandai ke level 8,5% (Juli) berkat langkah agresif The Fed menaikkan Fed Fund Rate (FFR). Namun, upaya mencapai target sasaran inflasi pada level 2% masih membutuhkan waktu cukup lama.
Ketua The Fed, Jerome Powell, beserta koleganya sudah menetapkan komitmen kuat untuk memerangi inflasi, meskipun langkah ini akan menyakitkan bagi perekonomian AS dan keuntungan perusahaan yang beroperasi di negara tersebut.
Komplikasi Permasalahan Global
Para pengambil kebijakan dan pelaku usaha di seluruh dunia telah menyadari risiko, antara lain perang Rusia dan Ukraina, yang salah satunya adalah lonjakan harga energi dan pangan global karena gangguan rantai pasok global. Maklum, perang di Ukraina menyeret berbagai negara yang pro-Rusia maupun pro-Ukraina untuk bersilang sengketa dengan beragam provokasinya sehingga menghambat mobilitas semua moda transportasi antarnegara dan antarkawasan melalui jalur darat, laut, dan udara.
Jadwal penerbangan pesawat komersial (penumpang dan kargo) dan jadwal keberangkatan kapal-kapal laut terganggu dengan kebijakan embargo dan penguncian oleh masing-masing kubu yang bersengketa. Itulah konsekuensi dari sebuah perang yang membuat penderitaan bagi banyak orang tidak berdosa.
Buktinya, kini perekonomian Rusia jatuh. Badan Statistik Rusia mencatat produk domestik bruto (PDB) mengalami kontraksi 4% pada kuartal kedua 2022, yang merupakan periode pertama sejak Rusia mengirim pasukannya ke Ukraina.
Penurunan tajam ini mengindikasikan ada perubahan yang cukup drastis pada ekonomi Rusia sejak konflik di Eropa Timur meletus pada Februari lalu. Hal itu juga menandai adanya pembalikan tajam dari kuartal pertama saat ekonomi Rusia tumbuh 3,5%. Kondisi ekonomi yang memburuk dipicu oleh beragam sanksi Barat, termasuk pemutusan bank Rusia dari sistem transfer internasional dan eksodus sejumlah perusahaan asing.
Jika kondisi ekonomi global semakin memburuk dan ekspor Rusia mendapat sanksi tambahan, maka kemerosotan ekonomi Rusia tahun depan mungkin akan lebih dalam dan pertumbuhan baru akan dilanjutkan pada 2025.
Kondisi ekonomi yang buruk juga menimpa Ukraina. Setelah diinvasi Rusia sejak akhir Februari 2022, perekonomian Ukraina anjlok pada kuartal pertama tahun ini dengan kontraksi 15,1% (year on year/yoy) dibanding kuartal pertama tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan kuartal keempat 2021, ekonomi Ukraina sudah anjlok 19,3% (quarter on quarter/qoq).
Meskipun saat ini harga minyak dunia terpantau menurun di bawah US$100 dolar/barel dan inflasi sudah menunjukkan sinyal pelandaian meskipun tipis, namun level kewaspadaan tidak boleh kendur. Pertama, situasi di Eropa masih harus diwaspadai. Krisis energi semakin parah, dengan harga gas alam dan listrik melonjak luar biasa. Ini telah mendorong laju inflasi zona Euro di atas 9% dan meningkatkan kemungkinan resesi yang parah. Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB), yang mencakup 19 negara Eropa, diperkirakan akan melanjutkan siklus kenaikan suku bunga untuk meredam laju inflasi, meskipun langkah ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Di saat ketidakpastian masih melingkupi masalah inflasi dan respon pengambil kebijakan, para pelaku pasar dan dunia usaha tampaknya telah memperhitungkan potensi resesi di Eropa, tecermin dari pelemahan euro yang dalam terhadap dolar AS.
Kedua, perkembangan ekonomi Tiongkok, negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, juga harus dicermati. Kebijakan “ultra defensive” melalui penguncian aktivitas ekonomi untuk menekan kasus COVID-19 ke level nihil telah menyebabkan distorsi perekonomian global lantaran Tiongkok menjadi salah satu pemain utamanya.
Langkah ekstrem Tiongkok itu ditambah dengan krisis di sektor propertinya yang menyebabkan pertumbuhan PDB-nya hanya berkisar 4,0%-4,4% tahun ini dan naik ke kisaran 4,4%-4,8% tahun depan. Dengan demikian, era pertumbuhan ekonomi double digit untuk Tiongkok sudah berlalu dan kini negara ini memasuki fase new normal economic growth berkisar 5% per tahun.
Berbeda dengan bank-bank sentral negara maju yang melakukan kebijakan pengetatan, bank sentral Tiongkok (People Bank of China/PBOC) justru menerapkan kebijakan superlonggar dengan menurunkan suku bunga acuan dan rasio giro wajib minimum (GWM) perbankan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang tertekan.
Ketiga, para pengambil kebijakan, para pelaku usaha, dan pelaku pasar uang global juga harus mencermati potensi terjadinya destabilisasi mata uang sebagai dampak penguatan dolar AS yang terlalu kuat. Dolar AS mengalami apresiasi terhadap mata uang kuat dunia lainnya, khususnya euro dan poundsterling, lebih-lebih terhadap mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah.
Intinya adalah para pengambil kebijakan, para pelaku usaha, dan pelaku pasar keuangan di seluruh dunia tidak boleh hanya fokus pada langkah The Fed. Ada dinamika dan risiko lain yang juga berperan sehingga diperlukan keselarasan dan keseimbangan kebijakan yang tepat dan terukur.
Perkiraan ke Depan
Memperkirakan masa depan menjadi penting untuk dilakukan melalui peranti asesmen. Berbagai lembaga internasional kredibel, seperti Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dan Bank Dunia (World Bank), telah merilis perkiraan pertumbuhan ekonomi global, kawasan, dan individu negara tahun ini dan tahun depan dengan berbagai instrumen asesmennya. Ini bisa dijadikan sebagai referensi bagi para pengambil kebijakan dan pelaku dunia usaha dalam merancang kebijakan ekonomi dan investasi.
Tahun 2022 boleh dikatakan sebagai tahun pemulihan ekonomi global dengan berbagai langkah normalisasi kebijakan di hampir seluruh dunia. Tahun 2023 merupakan tahun kebangkitan menuju kondisi normal seperti sebelum fase pandemi COVID-19 meskipun bayang-bayang perang di Ukraina masih ada. Namun, dengan ekspektasi tensi perang berangsur-angsur berkurang karena dukungan rekonsiliasi internasional, diharapkan akselerasi kebangkitan ekonomi global terwujud. Apalagi kebijakan penguncian yang ekstrem di Tiongkok boleh jadi sudah dicabut dan negara ini kembali melaju sebagai salah satu pilar kekuatan ekonomi dunia.
Hingga saat ini AS masih menjadi negara dengan ukuran ekonomi terbesar di dunia dengan PDB sebesar US$25,3 triliun, disusul Tiongkok sebagai negara kedua terbesar dengan PDB sebesar US$19,9 triliun, sekaligus memimpin Asia. Meskipun pertumbuhan PDB Tiongkok mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, namun diprediksi akan menyalip AS pada 2030. Jerman berada di urutan keempat sekaligus ekonomi terbesar di Eropa dengan PDB sebesar US$4,3 triliun, diikuti Inggris dan Prancis dengan PDB masing-masing US$3,4 triliun dan US$2,9 triliun. Jepang memiliki PDB sebesar US$4,9 triliun, dan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia dan terbesar kedua di Asia setelah Tiongkok.
Bagi investor portofolio, berinvestasi di pasar negara berkembang perlu memperhitungkan potensi risiko yang lebih besar daripada di pasar domestiknya, karena ada risiko politik, nilai tukar, ekonomi, suku bunga, dan pasar.
Saat ini jika investor ingin berinvestasi di instrumen komoditas juga dihadapkan pada potensi risiko yang signifikan. Maklum, harga komoditas dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain perubahan dalam relasi penawaran dan permintaan, program dan kebijakan pemerintah, ketegangan geopolitik, perlambatan ekonomi suatu negara atau kawasan, fragmentasi ekonomi global, peristiwa perang dan aksi terorisme, perubahan suku bunga komersial dan nilai tukar, perjanjian kontrak perdagangan komoditas, pandemi global, serta perubahan iklim dan teknologi. Kesemuanya itu berdampak pada volatilitas harga suatu komoditas secara ekstrem dan sulit diprediksi.
Sementara, kebijakan moneter yang lebih ketat akan mereduksi permintaan dalam aktivitas ekonomi dan bisnis, dibarengi dengan penyusutan jumlah tenaga kerja dan kenaikan upah serta inflasi lebih tinggi daripada yang diperkirakan sebelumnya. Penyesuaian kebijakan di negara maju sudah diikuti oleh negara berkembang, khususnya di Asia.
Para ekonom mengingatkan bahwa Asia tidak akan dapat lolos tanpa mengalami kemerosotan ekonomi jika AS terperosok ke dalam resesi. Beberapa negara di Asia Tenggara diprediksi bakal lebih terpukul dibandingkan negara lain. Menurut para ekonom, Singapura dan Thailand kemungkinan besar bakal menjadi yang pertama terkena dampak jika AS menuju resesi.
Selain Thailand, negara di Asia Tenggara yang juga rentan akan terdampak lebih dahulu jika AS jatuh ke dalam resesi adalah Singapura karena ketergantungan ekspornya dan ukuran ekonominya yang kecil dan bersifat terbuka. Pertumbuhan PDB Singapura secara historis lebih berkorelasi dengan siklus bisnis AS karena ekonominya yang berorientasi ekspor.
Singapura tidak memiliki pasar domestik yang kuat dan sangat bergantung pada aktivitas perdagangan internasional (termasuk pengiriman dan operasional kargo) untuk menopang perekonomiannya. Namun demikian, disebutkan juga jika AS menuju resesi, maka tren penurunan itu cenderung dangkal. Ini lantaran Tiongkok merupakan pasar ekspor terbesar bagi kebanyakan negara Asia Tenggara. Namun, karena ekspor ke Tiongkok sangat lemah seiring penerapan kebijakan penguncian yang ekstrem dan juga karena Singapura sangat bergantung pada ekspor, maka hal itu sangat memukul perekonomian Singapura.
Sampai saat ini tarik-menarik antara pengendalian inflasi dan resesi di AS masih berlanjut, mengingat The Fed masih bersikap hawkish terhadap penaikan suku bunga acuan. Sebelumnya pemerintah AS telah mengumumkan pertumbuhan negatif di kuartal pertama dan kedua tahun ini yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai resesi teknis.
Sebenarnya ekonomi AS sudah memasuki fase stagflasi, dalam hal ini pertumbuhan ekonominya melambat dengan laju inflsi yang melambung tinggi. Hanya saja, hal itu tidak disertai dengan angka pengangguran yang melonjak, sebaliknya angka pengangguran relatif terkendali. Tingkat pengangguran pada Agustus 2022 tercatat 3,7%, naik dari bulan sebelumnya yang 3,5%. Namun, penyerapan tenaga kerja masih menjanjikan. Jumlah pengangguran naik 244.000 menjadi 6,014 juta orang. Sementara, tingkat penyerapan tenaga kerja naik 422.000 menjadi 158,732 juta.
Kondisi itulah yang mendorong pemerintah AS dan The Fed segera mengakhiri periode inflasi yang tinggi melalui kebijakan moneter ketat untuk melandaikan inflasi ke target sasaran yang 2% dan bersiap menuju fase pemulihan ekonomi seperti sebelum pandemi COVID-19. Pola yang serupa dengan langkah The Fed juga dilakukan oleh bank-bank sentral lainnya dengan indikator utama yang sama, yaitu inflasi yang tinggi disertai pertumbuhan ekonomi yang lemah.
Bagaimana dengan Indonesia? Penyesuaian stance kebijakan dilakukan saat Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 22-23 Agustus 2022 lalu memutuskan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%.
Keputusan ini sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi ke depan akibat penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan nonsubsidi dan inflasi volatile food, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya karena masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Dengan kebijakan tersebut, stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga.
Tekanan inflasi meningkat terutama karena tingginya harga komoditas pangan dan energi global. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Juli 2022 tercatat 4,94% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya yang 4,35% (yoy). Sementara, inflasi inti masih relatif rendah 2,86% (yoy) didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi.
Berbagai perkembangan terkini terkait penyesuaian harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi diperkirakan dapat mendorong inflasi pada 2022 dan 2023 berisiko melebihi batas atas sasaran yang 3,0±1% sehingga diperlukan sinergi kebijakan yang lebih solid antara pemerintah pusat dan daerah dengan BI untuk langkah-langkah pengendaliannya.
BI bersama dengan Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) terus berkomitmen dalam menjaga terkendalinya inflasi nasional. Hal ini diwujudkan melalui gelaran Sinergi Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (Gernas PIP) pada 10 Agustus 2022 lalu, di Kota Malang.
Baca juga: Gejolak Geopolitik dan Kenaikan Suku Bunga, Masih Jadi Tantangan Besar Ekonomi Global
Gernas PIP menjadi langkah komitmen bersama untuk mengoptimalkan langkah-langkah pengendalian inflasi dari sisi pasokan dan mendorong produksi guna mendukung ketahanan pangan secara integratif, masif, dan berdampak nasional. Kegiatan ini mencakup perluasan kerja sama antardaerah, komitmen penyelenggaraan operasi pasar daerah rentan gejolak inflasi di wilayah Jawa, serta implementasi gerakan urban farming dan digital farming.
Jadi, perubahan stance atau haluan kebijakan memang harus dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan dan ketidakpastian yang terjadi ke depannya. Langkah kebijakan dengan stance yang dovish, pre-emptive, dan antisipatif menjadi kunci keberhasilan melanjutkan momentum pertumbuhan ekonomi. (*)