Jakarta – Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menilai masih terkendala untuk pengembangan Fintech di Tanah Air. Hal ini sejalan dengan banyaknya persyaratan atau izin yang diberlakukan regulator baik Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Produk layanan keuangan yang ditawarkan Fintech saat ini beragam, mulai dari lending (pinjaman) hingga sistem pembayaran kredit. Namun sayangnya, perusahaan-perusahaan fintech tersebut belum semua mengantongi izin dari regulator BI dan OJK.
Direktur Kebijakan Publik Aftech, M. Ajisatria Sulaeman dalam keterangannya, yang diterima di Jakarta, Rabu, 25 April 2018 menyebutkan, bahwa sampai dengan saat ini sudah ada 30 anggota asosiasi yang sedang dalam proses mendaftarkan perusahaannya ke BI.
“Peraturan di BI sendiri cukup banyak, tidak hanya tekfin dan regulatory sandbox, tetapi payment gateway, uang elektronik, dompet elektronik, dan transfer dana. Ada lebih dari 30 anggota kami yang sedang mendaftar untuk mendapatkan izin tersebut,” ujarnyam
Adal tahu saja, pendaftaran fintech sendiri terbagi dua. Untuk fintech berbasi pinjam meminjam atau Peer to Peer Lending (P2PL) berada di bawah pengurusan OJK. Sedangkan yang berada di bawah pengawasan Bank Sentral adalah yang terkait sistem pembayaran.
Baca juga: Volume Bisnis Fintech Nasional Tembus Rp3,5 Triliun
Lebih lanjut dirinya mengungkapkan, sejauh ini dalam proses pengurusan perizinan perusahaan Fintech bukan tanpa batu sandungan. Banyak kendala yang harus dihadapi perusahaan fintech saat hendak mengurus pendaftaran untuk memperoleh izin operasi.
“Kendala utama pengurusan izin di Bank Indonesia adalah mekanisme mereka yang PRE audit, artinya seluruh dokumen dan sistem harus sudah siap sebelum memohon izin,” ucapnya.
Namun, kata dia, pendaftaran di OJK lebih mudah dibanding di BI. “OJK lending dimana dibolehkan untuk mendaftar dan beroperasi dengan dokumen-dokumen awal, lalu diberikan waktu satu tahun untuk melengkapi dokumen SOP, memperbaiki sistem, dan merampungkan audit. Jadi kalau di OJK, mekanismenya POST audit,” terangnya.
Di tempat terpisah, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara menambahkan, saat ini baru segelintir perusahaan fintech yang telah terdaftar. “Ada 44 yang terdfatar di OJK kalau gak salah tapi kan dari segi jumlah fintech lebih dari 180 perusahaann. Artinya, belum setengahnya yang terdfatar ke dalam OJK,” kata Bhima.
Bhima menyatakan, para pelaku industri fintech kebanyakan mengeluhkan soal rumitnya birokrasi. “Ada beberapa keluhan dari teman-teman di fintech, salah satunya sih ada perizinian yang cukup rumit dalam hal pendaftaran, jadi mereka mengurus perizinannya tuh makan waktu dan makan biaya,” paparnya.
Dirinya juga menyayangkan regulator yang terkesan lamban dalam pengembangan fintech di Indonesia. Padahal, kemajuan teknologi semakin hari semakin berjalan cepat dan tidak terbendung. Terlebih, proses pendaftaran juga memakan dana yang tak sedikit. Sebab pendaftaran memerlukan beberapa proses yang melibatkan pihak ketiga untuk melakukan pengecekan sistem kemanan.
“Perubahan teknologi begitu cepat, jadi kalau saya daftar hari ini, setahun baru selesai kan? Padahal, teknologinya sudah berubah, (begitu dapat izin) saya sudah harus daftarin teknologi yang terbaru lagi. Nah itu yang membuat birokrasinya menjadi penghambat fintech untuk mendaftar,” tegasnya. (*)