Jakarta – Pengamat Infrastruktur Universitas Indonesia (UI), Suyono Dikun mengungkapkan, kendati pasar di industri infrastruktur sudah terbuka bagi swasta, namun momentum ini tidak direspons sepenuh hati oleh pemerintah untuk mendorong partisipasi swasta melalui mekanisme public private partnership (PPP).
Apalagi saat ekonomi negara mengalami perlambatan, pemerintah seharusnya mengintensifkan upaya pengembangan proyek infrastruktur. “Jadi, di saat Eropa melemah dan Amerika Serikat krisis, justru infrastruktur kita digenjot,” kata Suyono di Jakarta, Selasa, 17 November 2015.
Sejak puluhan tahun lalu lanjut Suyono, kondisi di dalam negeri menunjukkan adanya fenomena monopoli negara ke pasar industri infrastruktur melalui BUMN karya. Dia menegaskan, seharusnya perusahaan BUMN mau melepaskan sikap monopoli tersebut.
“Mestinya, sekarang tidak terjadi lagi ada monopoli. Semua diamanatkan ke pasar industri terbuka, untuk swasta agar berinvestasi di infrastruktur,” paparnya.
Dia mengungkapkan, permasalahan lain terkait infrastruktur ada pada biaya logistik yang berkisar 26-27% dari PDB. “Biaya itu tertinggi di Asean. Untuk itu, jaringan infrastruktur harus dibangun,” ucap Suyono.
Dengan demikian, jelas dia, pembangunan konektivitas nasional tersebut perlu menggandeng pihak swasta. Pasalnya, kata Suyono, biaya pembangunan infrastruktur nasional membututuhkan dana tidak kurang dari Rp5.500 triliun.
“Selama ini kita (Indonesia) membangun infrastruktur hanya mengandalkan APBN. Faktanya, di APBN hanya mampu menyediakan Rp400 triliun. Jika, swasta berpartisipasi, maka fiscal space itu akan semakin sempit,” tutur Suyono. (*) Dwitya Putra