Ke depan, Indonesia perlu memikirkan untuk mengoreksi kebijakan devisa bebas yang dianggap terlalu bebas. Pasalnya, ketakutan untuk memperketat transaksi devisa membuat Rupiah selalu rentan.
Jakarta–Pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) sebagai respons terhadap devaluasi mata uang China, Yuan, merupakan cerminan anomali pasar
keuangan. Kondisi anomali terjadi jika berita baik direspons negatif, sebaliknya berita buruk direspons positif.
Demikian diungkap Ekonom dari Universitas Sam Ratulangi, Agus Tony Poputra. Menurutnya, devaluasi atau lebih tepat depresiasi yang dipaksakan atas Yuan sesungguhnya berita baik bagi ekonomi Indonesia yang dapat mendorong penguatan Rupiah dan peningkatan kinerja pasar modal, bukan sebaliknya.
Devaluasi Yuan dapat meningkatkan ekspor Tiongkok yang merupakan negara
tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia. Mengingat ekspor Indonesia ke Tiongkok kebanyakan berupa bahan baku bagi industri di Tiongkok, maka kondisi tersebut membuka peluang meningkatkan ekspor Indonesia ke Tiongkok.
Potensi peningkatan ekspor tersebut akan meningkatkan aliran masuk devisa ke Indonesia. Lewat mekanisme seperti ini akan Rupiah berpotensi menguat, demikian juga dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di pasar modal. Namun kondisi sebaliknya yang terjadi dimana pada Rabu, 12 Agustus 2015, Rupiah terpuruk ke posisi Rp13.795 per dolar, turun dari harga penutupan sebelumnya yaitu Rp13.610 per dolar. Demikian juga IHSG ditutup turun 3,10% menjadi 4.479,49.
Anomali ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Dua diantaranya adalah sentimen negatif berlebihan terhadap Rupiah dan IHSG serta adanya skenario mengguncang ekonomi Indonesia lewat pasar keuangan. Aksi yang dilakukan dengan mengeksploitasi isu yang dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dianggap ambigu. Di sini psikologis pelaku pasar keuangan yang dimainkan untuk untuk mencapai tujuan pihak-pihak tertentu dengan mengaburkan kondisi fundamental.
Walaupun Indonesia sedang mengalami resesi ringan, namun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tertinggi ke-5 di dunia. Oleh sebab itu, para pelaku pasar keuangan domestik tidak perlu latah mengikuti permainan pihak-pihak tertentu yang dapat menghancurkan ekonomi bangsa. Pada bulan kemerdekaan ini, nasionalisme rakyat Indonesia diuji dimana menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
Rencana Menteri Koordinator Perekonomian yang baru untuk melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan rencana yang patut didukung. Namun yang paling penting adalah koordinasi tersebut harus menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bersinergi, bukan lagi mengedepankan ego sektoral.
Partisipan dalam koordinasi tersebut sebaiknya diperluas dengan melibatkan kementerian teknis. Kinerja dan kebijakan yang baik pada kementerian-kementerian teknis tertentu dapat diformulasikan menjadi informasi pembentuk opini tandingan terhadap opini yang selama ini menimbulkan sentimen negatif terhadap Indonesia.
Terkait dengan kestabilan nilai tukar Rupiah, ke depan perlu dipikirkan untuk mengoreksi kebijakan devisa bebas Indonesia yang dianggap terlalu bebas. Ketakutan untuk memperketat transaksi devisa membuat Rupiah selalu rentan terhadap kondisi ekternal maupun permainan pelaku pasar yang rakus. Ini menimbulkan pengorbanan-pengorbanan ekonomi yang seharusnya tidak terjadi