Ngeri! Ombudsman Ungkap Temuan Terkait Kejahatan Siber-Pinjol, Cek Penyebabnya

Ngeri! Ombudsman Ungkap Temuan Terkait Kejahatan Siber-Pinjol, Cek Penyebabnya

Jakarta - Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengungkapkan bahwa selama periode 2021 hingga 2025, pihaknya menerima 148 laporan terkait masalah di sektor perbankan, asuransi, dan penjaminan.

"Dari 2021 sampai 2025, terdapat tendensi peningkatan pengaduan dengan total laporan sebanyak 148 laporan," ujar Yeka pada acara diskusi publik yang diadakan Ombudsman bertopik "Pencegahan Maladministrasi dan Penegakan Hukum terhadap Kejahatan di Sektor Perbankan" di Jakarta, Kamis, 8 Mei 2025.

Dari total laporan tersebut, sebagian besar berkaitan dengan layanan keuangan dan perbankan, termasuk kelalaian dalam melindungi data nasabah, penanganan pengaduan yang tidak responsif, penggunaan dokumen penting sebagai agunan tanpa izin nasabah, pencairan kredit fiktif, praktik pinjaman online (pinjol) ilegal, dan penipuan investasi bodong (scamming).

Baca juga: Waspada! Modus Penipuan Mengatasnamakan Indonesia Anti-Scam Centre

Yeka menjelaskan bahwa salah satu kejahatan yang mengalami peningkatan signifikan adalah kejahatan digital atau siber (cyber crime), seperti penipuan, serangan siber, dan phishing.

"Sektor keuangan dan perbankan menjadi target utama serangan siber, dengan Survei Mandiant M-Trends 2023 menempatkannya sebagai salah satu dari tiga sektor yang paling sering diserang," sambung Yeka.

Siap Kalah di Negosiasi Tarif Trump?


Lonjakan Kasus Kejahatan Siber

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kejahatan siber pada 2023 mencapai 584.991 kasus. Adapun kasus penipuan, berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), meningkat dari 7.899 laporan pada 2018 menjadi 37.228 laporan pada pertengahan 2023.

Sementara, untuk serangan phishing, Indonesia Anti-Phishing Data Exchange  (IDADX) menerima 26.675 laporan pada kuartal I 2023, meningkat dari 6.106 laporan pada kuartal IV 2022. 

Baca juga: Belum Punya UU Siber, Indonesia Rawan Ancaman Kejahatan Digital

Faktor Penyebab Maraknya Kejahatan Siber

Lebih lanjut, Yeka memaparkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan kejahatan perbankan berbasis teknologi terus berkembang secara signifikan, antara lain:

  • Teknologi sebagai Sarana dan Objek/Subjek Kejahatan: Teknologi dapat berperan sebagai alat, target, bahkan pelaku kejahatan.
  • Identitas Pelaku yang Mudah Disamarkan: Teknologi informasi memungkinkan identitas pelaku disembunyikan dengan mudah.
  • Korban Enggan Melapor: Banyak korban kejahatan berbasis teknologi enggan melaporkan kejahatan yang dialaminya, dengan alasan tidak mengetahui kalau dirinya menjadi korban, ketidak kepercayaan terhadap aparatur penegak hukum atau takut terkena dampak yang lebih parah lagi.

"Kerugian yang ditimbulkan tidak selalu bersifat materiel, namun juga bersifat imateriel seperti waktu, jasa pelayanan, privasi, keamanan, dan lainnya," cetus Yeka.

Baca juga: Berkaca Dari Kejatuhan Bank Besar di AS, Begini Cara Amankan Investasi

Dampak Pinjol Ilegal Makin Serius

Di samping itu, terkait pinjol, data Jangkara Data Lab mencatat 83 kasus bunuh diri akibat pinjol selama periode 2018-2023, dengan 23 orang selamat dan sisanya sebanyak 60 orang meninggal.

Sedangkan selama triwulan I 2025 saja, data menunjukkan, sudah ada sebanyak 1.081 orang menjadi korban pinjol ilegal, terdiri dari 657 perempuan (61 persen) dan 424 laki-laki (39 persen).

Baca juga: Waspada! Ini Bentuk Penipuan yang Sering Jebak Perempuan


Fenomena Gali Lubang Tutup Lubang dan Kelemahan KYC

Ombudsman RI juga menemukan bahwa antar-pinjol tidak memiliki sistem yang dapat mendeteksi apakah calon nasabah telah terdaftar di pinjol lain. Hal ini membuka potensi terjadinya fenomena "gali lubang tutup lubang" bagi nasabah yang terjebak dalam gagal bayar.

"Ini menjadi potensi besar terjadinya fenomena gali lubang tutup lubang bagi para korban yang sudah terlanjur terjebak dalam gagal bayar," tegas Yeka.

Yeka juga menyoroti lemahnya penerapan prinsip Know Your Customer (KYC) oleh pinjol, yang tidak melakukan analisis dan validasi kemampuan bayar calon nasabah.

Baca juga: Satgas PASTI OJK Blokir 1.123 Pinjol Ilegal hingga Maret 2025

Yeka berharap pemerintah segera memperbaiki tata kelola layanan publik di sektor perbankan dan keuangan digital, sehingga masyarakat Indonesia bisa terlindungi dari kejahatan ekonomi digital yang semakin kompleks.

"Perlindungan hukum bagi korban pinjol bukan hanya soal keadilan, tetapi juga upaya negara melindungi warganya dari kejahatan ekonomi digital yang semakin kompleks," pungkas Yeka. (*) Steven Widjaja

Halaman123

Related Posts

News Update

Netizen +62