Negosiasi Tarif Indonesia-AS, Ini Pengaruhnya ke Pasar Modal

Negosiasi Tarif Indonesia-AS, Ini Pengaruhnya ke Pasar Modal

Jakarta – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, sebelumnya telah menetapkan kebijakan tarif resiprokal terhadap Indonesia sebesar 32 persen.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (RI), Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa kenaikan tarif yang diberlakukan oleh Presiden AS itu memicu lonjakan ketidakpastian ekonomi global.

Airlangga menjelaskan, kondisi tersebut meningkatkan risiko terjadinya resesi secara global. Meskipun begitu, risiko resesi di Indonesia masih tergolong rendah, yakni sekitar 5 persen.

Baca juga: RI Kena Tarif AS Tertinggi untuk Garmen, Tekstil hingga Udang, Airlangga Protes

Senada dengan Airlangga, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, memproyeksikan bahwa pengenaan tarif resiprokal tersebut dapat berdampak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Mahendra merinci, jika tarif ditingkatkan menjadi 32 persen, dampaknya terhadap PDB nasional secara keseluruhan hanya akan kurang dari 1 persen. Namun, saat ini Trump menunda kebijakan itu selama tiga bulan ke depan dan sementara ini hanya menerapkan tarif sebesar 10 persen. Di sisi lain, pemerintah Indonesia tengah melakukan proses negosiasi.

“Berhadapan dengan perubahan yang drastis tadi itu tentu risiko yang dialami adalah ketidakpastian yang kemudian berdampak kepada volatilitas kepada berbagai hal, termasuk kepada variabel-variabel, keuangan dan tentu pasar keuangan itu sendiri,” ucap Mahendra.

Di sisi lain, ia menyatakan rasio perdagangan Indonesia yang termasuk ekspor dan impor terhadap PDB terbilang besar di sekitar 36-38 persen. Tetapi angka itu relatif lebih kecil dari negara lainnya, seperti Singapura 300 persen, Malaysia dan Thailand 125-150 persen, kemudian Filipina dan Vietnam 90-100 persen.

Oleh karena itu, OJK menyatakan akan terus mendukung penuh langkah pemerintah dalam negosiasi penetapan tarif oleh Trump. Diharapkan, hasilnya dapat menghasilkan kesepakatan yang saling menguntungkan dan menyeimbangkan kembali neraca perdagangan kedua negara.

Dampak ke Pasar Saham dan Sektor Perbankan

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyebutkan bahwa kebijakan tarif resiprokal Presiden Trump juga memengaruhi pergerakan pasar saham Indonesia, terutama pada penurunan saham-saham emiten perbankan.

Meski begitu, Dian menegaskan bahwa secara fundamental, emiten perbankan masih berada dalam kondisi yang sangat baik dan tidak terdapat permasalahan serius dalam kinerja keuangannya.

“Nah yang jadi persoalan adalah masalah yang dalam konteks persepsi global dan domestik saat ini. Jadi kalau misalnya dilihat apakah ada persoalan fundamentalnya, yang paling penting buat kita di bank BUMN atau di bank-bank lain, enggak ada itu,” ujar Dian.

Baca juga: Bos OJK: Perbankan RI Masih Pede Hadapi Dampak Perang Dagang

Tentunya, dengan negosiasi yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia dan AS pada 16-23 April 2025 melalui sejumlah usulan kerja sama mendapat respons positif dari investor. Hal ini tecermin dari penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 3,74 persen dalam sepekan terakhir (21–25 April 2025), yang ditutup di level 6.678,91.

Sejalan dengan IHSG, seluruh sektor turut mengalami penguatan, termasuk sektor keuangan yang naik 1,23 persen pada penutupan perdagangan 25 April. Emiten perbankan dengan kapitalisasi pasar besar yang menjadi penopang IHSG juga mencatatkan penguatan, antara lain:

  • PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) naik 1,47 persen ke Rp8.600 per saham
  • PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) naik 0,27 persen ke Rp3.740 per saham
  • PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) naik 0,20 persen ke Rp4.900 per saham

Usulan Kerja Sama dari Indonesia

Adapun usulan kerja sama dari Indonesia dalam proses negosiasi tersebut antara lain: peningkatan pembelian energi dari AS seperti LPG, fruit oil, dan gasoline; serta fasilitasi bagi perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia, termasuk dalam hal perizinan dan insentif.

Tidak hanya itu, Indonesia juga menawarkan kerja sama dalam pengelolaan mineral strategis (critical minerals) dan kemudahan prosedur impor untuk berbagai produk, termasuk produk hortikultura dari AS.

Di sisi lain, Indonesia mendorong pendekatan investasi antarnegara dengan skema business to business (B2B), serta penguatan kerja sama di bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Selain itu, Indonesia juga mendorong penguatan kerja sama di sektor pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Baca juga: Menko Airlangga Temui Menkeu AS Bahas Tarif Trump, Ini Hasilnya

Sebagai informasi, Menko Airlangga menyebut bahwa Indonesia dan AS telah sepakat untuk menyelesaikan perundingan ini dalam waktu 60 hari. Selain itu, kedua pihak juga telah menyepakati framework atau kerangka acuan yang akan ditindaklanjuti dalam bentuk perjanjian bilateral. (*)

Editor: Yulian Saputra

Related Posts

Top News

News Update