Eko B. Supriyanto
Jakarta – Tiga tahun pemerintahan rezim Jokowi-JK sudah berlalu. Janji bidang ekonomi, terutama target pertumbuhan 7%, tidak tercapai selama tiga tahun ini sejak 2014 sampai dengan 1917. Bahkan, jika demikian halnya, kemungkinan besar target pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai hingga akhir masa jabatan beliau pada 2019.
Pertumbuhan ekonomi 2016 yang berkisar 5,01% ini tidaklah terlalu buruk jika dibandingkan dengan pertumbuhan global. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya kalah dengan India, Tiongkok, dan Vietnam.
Tentu banyak alasan mengapa target pertumbuhan ekonomi tidak tercapai. Salah satunya ialah kondisi ekonomi global yang masih penuh dengan ketidakpastian. Akibat krisis 2008 dan rendahnya harga komoditas masih menjadi kendala utama ekonomi Indonesia yang berbasis komoditas ini.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2017 yang sekitar 5,2% relatif masih baik dibandingkan dengan negara-negara lain, tapi pertumbuhan itu masih belum cukup. Indonesia dengan struktur pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh sektor konsumsi masih belum mendorong penciptaan lapangan kerja dan pada akhirnya kesenjangan hampir tak bergerak sama sekali.
Itu rapor lumayan dari sisi pertumbuhan ekonomi. Jika dibandingkan dengan janji 7% tentu rapornya merah, tapi jika dibandingkan dengan negara-negara lain tentu berapor biru. Hal yang membanggakan ialah pembangunan infrastruktur, walaupun sampai dengan sekarang belum ada yang jadi. Niat baik membangun infrastruktur juga sudah ada.
Sayangnya pembangunan infrastruktur ini diikuti dengan kenaikan pinjaman luar negeri. Sejak pemerintahan Jokowi-JK, utang luar negeri meningkat dari Rp2.604 triliun pada 2014 menjadi Rp3.866 triliun pada September 2017. Pada waktu Jokowi-JK terpilih, posisi utang Indonesia masih relatif aman dengan rasio 24,2% dari gross domestic product (GDP). Sekarang utang per GDP melonjak menjadi 34%. Namun, memang dibandingkan dengan negara-negara G-20 posisi utang kita masih di urutan ke-17.
Jika melihat rasio itu tidaklah mengkhawatirkan. Hanya, masalahnya ialah kemampuan likuiditas di tengah APBN yang ketat. Risiko fiskal, terutama risiko penerimaan, menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Harusnya melihatnya bukan sekadar rasio utang per GDP, melainkan risiko likuiditas—sekarang bunga utang sudah dibayar dengan utang.
Pinjaman luar negeri (LN) tidak terlalu masalah jika dibuat untuk infrastruktur. Akan tetapi, dengan catatan, infrastruktur harus dapat menciptakan nilai tambah untuk kelancaran ekspor. Pertanyaannya, apakah pembangunan infrastruktur ini sejalan dengan pembangunan industri berskala ekspor? Sepertinya itu masih jauh api dari panggang.
Dua tahun terakhir masa jabatan presiden tentu akan berubah pola kerjanya. Jurus Wiro Sableng 212 rupanya masih berlaku. Dua tahun penyesuaian dan relatif berhasil mendapat dukungan partai-partai. Satu tahun bekerja, kerja, kerja dan dua tahun terakhir ini sudah terbaca ada berbau hendak terpilih kembali.
Program corporate social responsibility (CSR) ke pesantren-pesantren merupakan tanda-tanda “kampanye” terselubung. Sejumlah direksi BUMN juga sudah dibongkar dan tentu bisa jadi untuk kepentingan ini. Program-program yang dikemas BUMN untuk negeri bisa jadi berubah menjadi program pemenangan pemilu yang halus.
Masuknya para relawan dan yang mengaku relawan serta pendukung pemerintahan di BUMN, baik sebagai komisaris maupun direksi, tentu dapat ditafsirkan sebagai proyek balas budi. Dan, lebih jelasnya proyek 2019. Paket agent of development merupakan pintu masuk untuk itu.
Penempatan direksi BUMN tanpa pola, misalnya seorang eksekutif belum satu tahun bekerja sudah dipindah-pindah. Bahkan, mantan direksi BUMN besar tiba-tiba menjadi dirut BUMN kecil. Mantan CEO BUMN besar terbuang, meski masih muda. Tidak jelas ukurannya, dan tentu ini makin parah ketika pejabat-pejabat BUMN yang harusnya mengawasi kini duduk di BUMN “tebal”.
Para komisaris yang tak punya kompetensi dan jam terbang diminta untuk duduk-duduk manis di bank-bank BUMN dan BUMN strategis. Tidak semua tak punya kompetensi dan bahkan sebagian besar lihat neraca bank saja tak pernah. Namun, itulah bagian dari kekuasaan.
Hiruk pikuk politik dua tahun mendatang akan mewarnai ekonomi Indonesia. Tentu dengan maraknya ekonomi digital akan menambah penyesuaian-penyesuaian baru. Pola belanja yang berubah tentu akan menghasilkan output yang berubah.
Sejumlah toko ritel merosot omzetnya dan bahkan tutup, seperti Lotus dan 7-Eleven. Lebih sadis lagi e-commerce yang ada lebih banyak barang impor daripada produk lokal. Lama-lama UMKM dan pabrik-pabrik di Indonesia juga lunglai. Siapa yang peduli ini? Efeknya juga ke bank-bank menjadi kredit macet. Bayangkan, hanya 6% transaksi e-commerce yang membeli produk lokal, sisanya impor.
Selamat datang era dua tahun mendatang—pemerintahan akan dikelola dengan auto rejected—persoalan akan dibiarkan selesai dengan sendirinya. Hal itu melanjutkan pola yang sebelumnya dilakukan, sepanjang tidak memengaruhi elektabilitas.
Jadi, rapor Jokowi untuk pertumbuhan 7% tentu tak akan tercapai sampai dengan 2019. Dan, hampir pasti Jokowi tak akan menggunakan tema kampanye pertumbuhan 7%. Ia akan dipilih lagi jika dapat mengurangi pengangguran dan ketimpangan.
Itu soal penting jika hendak terpilih kembali.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Infobank