Menurut Engle, permodalan yang besar tapi malah dibuat untuk pencadangan. Hal ini sebenarnya tidak perlu dilakukan. Permodalan tersebut, lanjutnya, tidak disalurkan menjadi pembiayaan ke sektor-sektor yang membutuhkan.
Sementara, risiko perbankan di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan risiko di Singapura, Malaysia, maupun Thailand. Indonesia memiliki risiko yang lebih rendah. Jadi, pendeknya, permodalan yang tinggi tidak diperlukan.
Baca juga: Kemampuan Bank Tangani NPL Tetap Bagus
Pandangan Engle ini dari sudut risiko ada benarnya. Namun, dari sisi sejarah panjang perbankan Indonesia, terutama sejak krisis 1998, tentu penilaian Engle perlu didiskusikan lebih jauh.
Ada semacam trauma yang sulit dilupakan oleh perbankan Indonesia—yaitu krisis perbankan 1998 yang menelan biaya krisis sangat besar karena perbankan pada saat itu tak memiliki modal yang memadai, terutama dalam mengantisipasi kebangkrutan. (Bersambung ke halaman berikutnya)
Jakarta – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung mendukung langkah PLN… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta – Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengungkapkan latar belakang penembakkan terhadap Kasat Reskrim Polres… Read More
Jakarta – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengaku akan melibatkan seluruh pihak dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan… Read More