Menurut Engle, permodalan yang besar tapi malah dibuat untuk pencadangan. Hal ini sebenarnya tidak perlu dilakukan. Permodalan tersebut, lanjutnya, tidak disalurkan menjadi pembiayaan ke sektor-sektor yang membutuhkan.
Sementara, risiko perbankan di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan risiko di Singapura, Malaysia, maupun Thailand. Indonesia memiliki risiko yang lebih rendah. Jadi, pendeknya, permodalan yang tinggi tidak diperlukan.
Baca juga: Kemampuan Bank Tangani NPL Tetap Bagus
Pandangan Engle ini dari sudut risiko ada benarnya. Namun, dari sisi sejarah panjang perbankan Indonesia, terutama sejak krisis 1998, tentu penilaian Engle perlu didiskusikan lebih jauh.
Ada semacam trauma yang sulit dilupakan oleh perbankan Indonesia—yaitu krisis perbankan 1998 yang menelan biaya krisis sangat besar karena perbankan pada saat itu tak memiliki modal yang memadai, terutama dalam mengantisipasi kebangkrutan. (Bersambung ke halaman berikutnya)
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pekan lalu di periode 28 Oktober hingga 1… Read More
Jakarta - Kandidat Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris dan Donald Trump, saat ini tengah bersaing… Read More
Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah optimis pertumbuhan ekonomi RI masih… Read More
Jakarta - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah menggodok Peraturan Pemerintah (PP) perihal hapus tagih… Read More
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan rata-rata upah buruh di Indonesia per Agustus 2024… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (5/11) berakhir ditutup pada zona… Read More