Sejumlah kebijakan dinilai memicu KPR tumbuh flat. Kendati demikian, industri properti meyakini, pertumbuhan tahun depan akan lebih baik. Ria Martati.
Jakarta– Kredit Kepemilkan Rumah (KPR) tahun depan diperkirakan masih lambat. Perbankan yang dibatasi ruang geraknya dengan regulasi dari Bank Indonesia (BI) soal pelarangan KPR inden dan Loan to Value (LTV) masih pesimis apalagi masyrakat tengah didera penurunan daya beli akibat perlambatan ekonomi. Kendati aturan soal LTV sudah kembali melalui PBI No.17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang berlaku efektif sejak 18 Juni 2015.
Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono memperkirakan, pertumbuhan kredit konsumer termasuk KPR dan KKB (Kredit Kendaraan Bermotor) tahun depan masih flat atau di bawah 10%. Pasalnya, perkembangan kredit konsumen menurutnya sangat tergantung oleh sektor riiil, artinya, jika tahun depan belanja Pemerintah terserap lancar dan target pertumbuhan ekonomi dapat tercapai tentu pertumbuhan kredit konsumen akan ikut terkerek.
Senada, sejumlah bankir seperti Direktur Konsumer PT Bank Central Asia, Tbk (BCA) Henry Konaefi juga memperkirakan pertumbuhan KPR bakal flat.” Saya dengar prediksi penjualan rumah flat, mobil juga lebih kurang begitu, ya kita kan ikuti jualan saja,” kata Henry usai paparan kinerja BCA beberapa waktu lalu. Per September, menurutnya oustanding KPR mencapai Rp58 triliun, naik 9,5% dibanding periode yang sama tahun lalu. Kendati sudah mengiming-imingi calon nasabah dengan promo bunga fix and cap, Henry mengakui penjualan KPR tahun ini tak banyak terbantu.
Sementara itu,PT Bank Pembangunan Daerah Bank Jawa Barat & Banten Tbk (BJB) memilih jurus lain untuk menggenjot KPR. Direktur Konsumer BJB, Fermiyanti mengatakan, BJB saat ini membidik ticket size di bawah Rp500 juta untuk produk KPRnya. Pasalnya, nasabah KPR dengan ticket size Rp500 juta-Rp1 miliar terbukti banyak menunggak cicilan. Selain itu, Perseroan juga akan menekan NPL KPR yang per September 2015 mencapai 7,6% agar dapat turut mencicipi kelonggaran LTV dari BI. Per September 2015, KPR BJB mencapai Rp4,47triliun tumbuh tipis 4,5% dibanding periode yang sama tahun lalu. Kendati memiliki jurus menggenjot KPR, BJB memperkirakan industri properti masih lesu karena kondisi ekonomi, sehingga BJB memperkirakan pertumbuhan KPR 10-15% dibanding tahun ini.
Ketua Real Estate Indonesia, Eddy Hussi sendiri memperkirakan industri properti tahun depan diperkirakan akan lebih baik dibanding tahun ini seiring dengan pemulihan ekonomi nasional. Ditambah lagi, Pemerintah meningkatkan anggaran subsidi untuk pembangunan rumah. Dalam RAPBN 2016 Pemerintah mengalokasikan anggaran FLPP senilai Rp 9,3 triliun naik dibandingkan anggaran 2015 sebesar Rp 5,1 triliun. REI juga berharap dampak dari deregulasi sejumlah kebijakan yang terkait dengan industri properti akan terasa pada 2016.
Sementara itu, Joice Farida, Senior Vice President Consumer Credit Division Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengusulkan adanya stimulus lain agar industri properti kembali menggeliat. Dengan industri ikutan properti yang mencapai 137 industri, kembali perkasanya industri properti diharapkan dapat mendorong perekonomian, dan tentu saja KPR akan kembali bertumbuh.
Usulan relaksasi itu untuk indent KPR untuk rumah kedua dan ketiga untuk mempercepat roda perekonomian. Dengan dilarangnya KPR inden untuk hunian ke-dua dan seterusnya, selama ini mengakibatkan terjadi pergeseran komposisi cara bayar beli rumah oleh masyarakat. Jika sebelumnya komposisi cara bayar rumah didominasi oleh KPR yang mencapai 85% selanjutnya pembayaran cicilan bertahap 10% dan tunai 5%, pasca BI mengeluarkan aturan pelarangan inden untuk rumah ke-dua dan seterusnya, pola masyarakat membayar KPR jadi didominasi oleh cicilan bertahap yang mencapai 60%, tunai tetap 5% dan KPR hanya 35%.
Selain itu, tujuan utama diberlakukannya pelarangan inden bagi hunian ke-dua dan seterusnya telah membuat tujuan pengereman bubble harga properti oleh Bank Indonesia, tercapai. Meski pada kenyataannya, kata Joice, sampai saat ini tidak terjadi bubble harga properti. Selain itu, pengereman selama lebih dari dua tahun ini dirasa sudah lebih dari cukup oleh industri perbankan.
Relaksasi lain yang diperlukan adalah penghentian pemakaian appraisal dari KJPP yang membuat high cost dan harus ditanggung oleh konsumen. Penggunaan appraisal yang diwajibkan dalam PBI nomor 17/10 2015 menurutnya telah over dosis, lantaran selama ini, penilaian yang dilakukan oleh appraisal independen mengacu atas barang jadi.
“Tapi dengan ketentuan LTV ini, KJPP dipaksa untuk menilai barang yang belum jadi yaitu price list KPR dan KPR indent. Menilai harga properti inden berbeda dengan menilai objek yang sudah progress. Rumus penilaian properti inden menurut kami sebagai praktisi, menjadi tidak sesuai dengan praktik di Indonesia, karena situasinya belum memungkinkan untuk diterapkan secara langsung,” jelas Joice.
Ia mencontohkan, kewajiban prasyarat dokumen harus lengkap di awal. Padahal pada kenyataannya saat ini di Indonesia, IMB untuk apartemen baru terbit setelah bangunan fisik apartemen sudah jadi. Selain itu, memecah sertifikat dari sertifikat induk pun memerlukan waktu. Menurutnya, over dosis pemakaian apresal ini menyebabkan ekonomi biaya tinggi, karena satu kali menilai mengeluarkan biaya Rp 1 juta. Padahal, kata Joice, perbankan pun memiliki SDM yang ditunjuk sebagai appraisal. Menurutnya, SDM perbankan pun tak kalah dengan appraisal independen dari KJPP. Sebab, SDM perbankan pun memiliki kredibilitas, independensi serta integritas. “Kami butuh tanggapan segera dari BI untuk relaksasi ini. Kalau dulu appraisal hanya digunakan saat bangunan sudah jadi, sekarang saat price list dan progress bangunan pun dinilai. Ini membuat ekonomi menjadi tinggi dan biayanya harus ditanggung oleh konsumen,” ungkap Joice. Selain itu, sebaran KJPP di Indonesia pun masih belum merata. Sedangkan SDM perbankan ada disetiap kantor cabang.
Dalam kesempatan yang sama, Djojo Boentoro, Head Mortgage Division Maybank Indonesia mengungkapkan, sejak aturan pelarangan KPR inden untuk hunian kedua dan seterusnya dikeluarkan oleh BI mulai September 2013 lalu, kredit properti mengalami penurunan baik dan hingga Agustus 2015, kredit properti hanya tumbuh 4,1% secara year to date dan 7,5% secara tahunan.
“Perlambatan pertumbuhan sektor properti masih terjadi sampai sekarang meski BI telah menerbitkan SE BI untuk relaksasi besaran LTV. Yang menyandera pertumbuhan sebetulnya adalah inden yang diperbolehkan hanya untuk KPR pertama. Ini yang perlu relaksasi lanjutan,” jelas Boentoro.