Oleh Rahma Gafmi, Guru Besar Universitas Airlangga
DI tengah memanasnya perang Israel-Iran, dan serangan Amerika Serikat (AS) ke Iran, kita dikagetkan dengan rilis ekonomi Singapura yang mengalami penurunan signifikan. Berbagai faktor yang memperburuk prospek ekonomi di kawasan Asia Tenggara meliputi fragmentasi ekonomi dunia, penurunan volume perdagangan, serta arus keluar modal dari negara berkembang.
Selain itu, ditambah perkembangan geopolitik global yang makin memanas, dengan perang tarif AS-Tiongkok. Tarif resiprokal AS ini ternyata tidak hanya berlaku pada Tiongkok, tapi juga pada semua mitra dagang AS, termasuk Singapura dan Indonesia. Sangat complicated permasalahan global yang terjadi hingga kini yang tidak bisa kita anggap remeh.
Saat ini, Singapura berada di bawah bayang-bayang resesi teknikal pada tahun 2025, setelah rilis data produk domestik bruto (PDB) terbaru menunjukkan adanya kontraksi ekonomi secara kuartalan. Meskipun kinerja tahunan masih menunjukkan pertumbuhan, sejumlah indikator memperkuat kekhawatiran pasar terhadap perlambatan yang lebih serius.
Resesi teknikal adalah suatu kondisi ekonomi di mana PDB suatu negara mengalami penurunan selama dua kuartal berturut-turut. Istilah “teknikal” di sini merujuk pada definisi operasional yang digunakan oleh banyak ekonom dan analis untuk menentukan apakah suatu negara sedang mengalami resesi atau tidak.
Penurunan permintaan domestik atau global dapat menyebabkan penurunan produksi dan PDB. Kenaikan biaya produksi, seperti biaya bahan baku atau tenaga kerja, dapat menyebabkan penurunan keuntungan dan PDB. Ketegangan keuangan, seperti krisis perbankan atau gelembung aset, dapat menyebabkan penurunan kepercayaan dan PDB.
Baca juga: Ekonomi Indonesia dan Guncangan Global, Tangguh tapi Belum Kebal
Penurunan PDB dapat menyebabkan penurunan lapangan kerja dan peningkatan pengangguran, penurunan investasi dan kepercayaan bisnis, serta penurunan konsumsi dan daya beli masyarakat.
Pada kuartal pertama 2025, ekonomi Singapura tumbuh 3,9 persen secara tahunan, tapi mengalami kontraksi 0,6 persen secara kuartalan. Ini memicu kekhawatiran bahwa Singapura mengalami resesi teknikal jika pola kontraksi berlanjut di kuartal berikutnya.
Faktor yang menyebabkan Singapura terancam resesi teknikal adalah ketegangan perdagangan global. Perang tarif antara AS dan Tiongkok dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi Singapura. Selain itu, penurunan permintaan global dapat memengaruhi ekspor Singapura dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Walaupun Otoritas Moneter Singapura (MAS) telah melakukan pelonggaran kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi. Namun, dengan memanasnya perang Israel-Iran dan AS ini akan menambah pelambatan ekonomi global yang berdampak signifikan pada Singapura.
Kementerian Perdagangan dan Industri (MTI) Singapura memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 dari kisaran 1 persen - 3 persen menjadi hanya 0 persen - 2 persen. Pemangkasan dilakukan menyusul memburuknya situasi perdagangan global akibat perang tarif AS-Tiongkok, yang turut menimbulkan kekhawatiran resesi teknikal di Singapura.
MTI melaporkan pertumbuhan ekonomi tahunan pada kuartal pertama 2025 sebesar 3,8 persen, turun dari 5 persen pada kuartal IV-2024. Secara kuartalan, ekonomi Singapura justru terkontraksi 0,8 persen, berbalik dari ekspansi 0,5 persen pada kuartal sebelumnya.
Penurunan dalam perdagangan global telah memukul industri manufaktur yang bergantung pada ekspor, sementara ritel Singapura mengalami rekor penurunan penjualan.
Kondisi ini juga memberi tekanan tambahan pada Partai Aksi Rakyat yang berkuasa. Pemerintah telah menjanjikan stimulus senilai sekitar S$93 miliar (US$67 miliar) untuk menopang bisnis dan rumah tangga yang bermasalah.
Mitigasi EWS Sangatlah Penting!
Mitigasi dengan menggunakan early warning system (EWS) dapat berpengaruh signifikan dalam menghadapi resesi Singapura dengan memungkinkan pemerintah dan pelaku ekonomi untuk mengambil tindakan preventif dan mitigatif yang lebih efektif.
Untuk mengatasi resesi teknikal, Singapura di antaranya dapat melakukan beberapa langkah strategis. Satu, melakukan pelonggaran kebijakan moneter untuk meningkatkan likuiditas dan menurunkan suku bunga, sehingga dapat meningkatkan konsumsi dan investasi.
Dua, melakukan stimulasi fiskal dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah dan memberikan insentif pajak untuk meningkatkan konsumsi dan investasi.
Tiga, meningkatkan diversifikasi ekonomi dengan mengembangkan sektor-sektor baru, seperti teknologi dan inovasi, untuk mengurangi ketergantungan pada sektor-sektor tradisional. Empat, meningkatkan investasi pada infrastruktur, pendidikan, dan penelitian untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi.
Lima, meningkatkan kerja sama regional dengan negara-negara ASEAN untuk meningkatkan perdagangan dan investasi regional. Enam, mengembangkan sektor jasa, seperti keuangan, logistik, dan pariwisata, mengingat pariwisata Singapura menjadi devisa negara yang dominan untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi ketergantungan pada sektor manufaktur.
Langkah-langkah strategis tersebut dapat meningkatkan kemampuan ekonomi Singapura dalam menghadapi resesi teknikal dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan berkelanjutan secara inklusif.
Baca juga: IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi Global, AS Terancam Resesi di 2025
Dampak Resesi Singapura terhadap Indonesia
Singapura merupakan investor strategis bagi Indonesia. Pada 2019, penanaman modal asing (PMA) Singapura ke Indonesia sebesar US$6,5 miliar, menjadi yang terbesar dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Jika Singapura mengalami resesi, investasi dari Singapura ke Indonesia akan mengalami penurunan.
Singapura juga merupakan pasar ekspor nonmigas Indonesia. Pada periode Januari-April, nilai ekspor nonmigas ke Singapura sebesar US$3,53 miliar, sementara impor US$2,94 miliar. Resesi di Singapura dapat mengurangi nilai ekspor dan impor antarkedua negara ini.
Sektor riil Indonesia sudah pasti terkena dampaknya, begitu juga dengan sektor finansial. Semua sudah merasakannya pada Maret lalu ketika IHSG dan rupiah ambrol. IHSG dan rupiah mengalami penurunan signifikan ketika resesi Singapura diantisipasi oleh investor.
Resesi Singapura juga dapat berdampak pada perekonomian global, terutama jika negara-negara lain juga mengalami resesi. Hal ini dapat memengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia dan pertumbuhan investasi.
Namun, perlu diingat bahwa dampak resesi Singapura pada Indonesia dapat bervariasi, tergantung pada beberapa faktor, seperti kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi domestik.
Saatnya kita berpikir untuk model pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan, ketika sektor manufaktur sudah tidak lagi jadi penupang utama pertumbuhan ekonomi. Sebab, dunia sudah masuk pada era “deindustrialisasi”. Deindustrialisasi around the world, termasuk Indonesia. (*)










